Pagi itu langit begitu
cerah. Sang surya menyapaku dengan senyuman khasnya. Hari itu adalah hari yang
sangat spesial bagiku. Bagaimana tidak, hari itu aku akan menikah dengan anak
seorang pengusaha kelapa sawit. Meskipun kami dijodohkan, bagiku siapapun
lelaki pilihan ayah dan ibu dialah yang terbaik untukku.
Aku lahir di sebuah
desa yang bernama Kumpang, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Ayahku adalah
seorang Kepala Suku Dayak. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di
keluargaku. Ayah begitu tegas memimpin keluarga dan Suku Dayak. Seluruh
peraturan adat istiadat beliau terapkan dengan tegas. Tidak ada kata toleransi
baginya.
Sebelum acara
pengucapan ijab kabul dilaksanakan, keluargaku dan keluarga suamiku
melaksanakan serangkaian upacara perkawinan adat suku dayak yaitu Melian,
meskipun calon suamiku berketurunan Batak. Selama proses Macang, calon suamiku
begitu diam. Tidak ada sediitpun komentar mengenai pernikahan kami, begitu pula
dengan aku. Semua telah di persiapkan oleh kedua orang tua kami.
Resepsi pernikahan kami
sangatlah meriah. Seluruh penduduk desa datang ke rumahku, tempat diadakannya
acara pernikahan. Seluruh ruangan dipenuhi dengan bunga yang berwarna-warni bak
taman di surga. Tirai putih yang menutupi seluruh dinding ruangan melambangkan
dua insan manusia yang diikatkan dengan tali suci untuk menjalani hidup baru.
Dentuman musikpun begitu kencang bersuara guna menambah kemeriahan pesta
pernikahan kami.
Matahari yang sejak
tadi pagi bersinar cerah bukanlah pertanda baik untukku, melainkan pertanda
bahwa akan ada badai besar setelah hari itu. Kebahagiaan pernikahanku berakhir
sampai dentuman musik tak lagi terdengar dan seluruh tamu undangan pulang ke
rumah mereka masing-masing. Malam pertama kami, suamiku tidur membelakangiku.
Tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya, bahkan hanya sekedar
senyuman basa-basi. Sejak pesta usai wajahnya dingin, datar, tanpa ekspresi.
Ingin sekali bibir ini berucap memecahkan kesunyian, tapi apa daya aku hanya
bisa diam seperti yang biasa aku lakukan. Kini yang tersisa dari pesta pernikahanku
hanyalah bait pertama dari lagu bang toyib, yang diputar sebanyak tujuh kali
dalam pesta pernikahn kami. Syair tersebut terus terngiang di benakku hingga
aku terlelap dalam kesepian.
Dua hari setelah pesta
pernikahan kami, kami tinggal di tengah-tengah kota
Pontianak . Kami
menempati rumah yang besarnya dua kali lipat dari pada rumahku. Aku dibuatkan
sebuah kartu kredit untuk memenuhi semua kebutuhanku. Kartu kredit tersebut
selalu terisi setiap kali aku gunakan. Tetapi semua itu percuma. Suamiku jarang
pulang dan tidak ada satupun orang yang aku kenal di sekitar tempat tinggal
kami. Tapi yang pasti, dia akan pulang ketika orang tua kami datang berkunjung
ke rumah kami. Dia juga akan berlaku mesra, seolah-olah tidak ada masalah
diantara kami. Jika tidak ada orang di sekitar kami, maka aku bagaikan gajah di
pelupuk matanya.
Aku bagaikan seorang
ratu yang terperangkap dalam sangkar emas. Setiap hari aku berdandan dalam
kesunyian malam. Menunggu kekasihku yang tak kunjung datang. Penantianku akan
berakhir sampai jam antik yang berada di ruang tamu berbunyi sebanyak dua belas
kali, kemudian akan disusul dengan suara isak tangisku.

Hujan
yang turun sejak pukul lima
sore belum juga reda hingga tak ada lagi cahaya matahari. Wangi tanah yang
terguyur air hujan masih tercium di hidungku. Sejak hatiku kosong, aku mulai
terbiasa menggambar diriku dan suamiku sedang berdiri di depan rumah sederhana
dan tersenyum gembira pada kaca jendela yang berembun.
Malam
itu adalah bulan ketiga sejak pernikahanku. Air mataku telah mengering dan
ketegaranku telah rapuh. Tiba-tiba saja aku teringat dengan ibuku dan aku
sangat merindukannya. Ibu yang selalu membelaiku dengan lembut dan bernyanyi
sebelum aku tidur. Ibu pulalah yang selalu menhiburku setiap kali aku sedih.
Dengan
penuh keraguan, aku memencet nomor telepon rumah. Aku ingin mencabut sedikit paku-paku
yang menancap di hatiku kepada ibu. Tidak lama aku menunggu, dari kejauhan
terdengar suara lembut ibu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Ibu, ini aku Vina.”
“SubhanaAllah Vina, apa kabar? Ibu
sangat kangen sama kamu.”
Ketika mulut ini mulai
terbuka, tiba-tiba saja ayah mengembalikan kediamanku.
“Kenapa kamu telepon? Apa ada masalah
yang terjadi? Inget, kamu adalah seorang istri. Kewajiban seorang istri adalah
melayani suaminya dengan baik dan menuruti segala perintah suaminya.”
Seperti
biasa, ibu menenangkanku dan berusaha memberikan pengertian kepadaku bahwa
perkataan ayah adalah benar. Namun, memang cara penyampaian ayah yang keras.
“Sabar ya sayang. Bapakmu hanya berusaha
menasehati kamu. Ibu akui memang caranya keras, tapi ambilallah kebaikan dari
setiap ucapannya.”
“Iya bu, aku mengerti.”
“Ngomong-ngmong, mana suami kamu togar?”
Aku terdiam sebentar. Rasa sakit itu
muncul kembali. Ingin rasanya aku menangis, tetapi itu hanya akan membuat ibu
khawatir dengan keadaanku.
“Belum pulang kerja.”
“Oh… ya sudah kalau begitu. Kamu
baik-baik ya di sana. Salam buat togar. Ibu mau nyiapin baju untuk bapakmu
pakai di acara khitanan salah satu warga malam ini.”

Malam
itu seperti biasa aku menunggu suamiku yang sudah empat bulan tidak pulang dan
tidur jam dua belas malam. Namun, tiba-tiba saja aku terbangun karena bunyi bel
rumah. Aku begitu terkejut melihat suamiku yang dibopong oleh seorang supir
taksi dalam keadaan yang tidak sadarkan diri.
“Maaf bu karena sudah mengganggu. Apakah
ibu mengenal dengan orang ini?” Tanya supir taksi itu kepadaku.
“Iya mas. Dia adalah suami saya. Tapi
kenapa keadaannya seperti ini?”
“Suami ibu sedang mabuk. Dia menyetop
taksi saya di depan sebuah klub malam, kemudian dia muntah di dalam taksi saya.
Saya tahu alamat ini dari alamat di KTPnya.”
“AstagfiruAllahal’azim…. Kalau begitu,
tolong bawa suami saya sampai ke kamar ya bang.”
“Baik bu.”
Dengan tertih-tatih,
supir taksi tersebut membwa suamiku ke dalam kamar dan merebahkannya di atas
tempat tidur. Kemudian aku membayar semua kerugian yang dialami supir taksi
tersebut. Aku begitu kecewa dengan apa yang ada dihadapanku. “Ya Allah… siapa
sebenarnya suamiku ini? Apakah benar dia adalah lelaki yang terbaik untukku?”
Tanpa terasa, air mata menetes di pipiku.
Aku ambil air hangat
dan handuk untuk membersihkan tubuh suamiku yang dipenuhi dengan bau muntahan.
Perlahan-lahan aku buka pakaiannya yang terkena muntahan dan aku basuh seluruh
tubuhnya dengan handuk yang dibasahi air hangat. Ketika semuanya selesai, aku
bermaksud untuk menaruh baskom, handuk, dan pakaian kotor tersebut di dapur.
Namun tiba-tiba saja dia menarik tanganku. Seluruh barang yang kupegang jatuh
ke lantai dan tubuhku terhempas ke dalam pelukannya.
Aku pasrahkan diriku
untuknya dan aku relakan keprawananku direnggut olehnya. Aku rasakan kenikmatan
dan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan. Akupun berfikir, pantas saja
tetanggaku, saiful, menikah sebanyak delapan kali dan bercerai sebanyak lima
kali.
Keesokkan paginya aku
terbangun oleh suara suamiku yang memanggi-manggil namaku. Ketika aku membuka
mata, aku melihat wajah sumiaku yang merah dan panik.
“Ada apa bang?” Tanyaku seraya
mengucek-ngucek mata yang dipenuhi kotoran.
“Apa yang telah terjadi tadi malam?”
“Maksud abang?”
“Apa yang telah terjadi tadi malam?
Kenapa kau tidur disampingku dengan keadaan tanpa busana?”
“Semalam kita melakukan sesuatu yang
biasa pasangan suami istri lakukan.”
“Jangan bilang kita melakukan hubungan
seks?” Tanyanya dengan wajah ketakutan.
Aku menjawabnya dengan mengangguk
disertai senyuman malu. Melihat jawabanku dia langsung mengusap wajahnya,
seperti ada yang disesalinya.
“Apa aku mengalami ejakulasi?”
“Sepertinya iya.”
Diapun langsung mengeluarkan makian yang
tidak ingin aku dengar.
“Kenapa kamu mau melakukan itu?”
“Loh, kenapa tidak? Apa salah jika
seorang istri melayani suaminya dan apakah salah jika aku menginginkan hakku?”
“Salah!!! Jelas salah! Bahkan pernikahan
kita adalah sebuah kesalahan besar!”
Aku bagaikan tersambar
petir disiang bolong. Tidak ada lagi kata yang dapat aku ucapkan, kecuali
jeritan isak tangis yang menjadi-jadi. Sedangkan suamiku pergi begitu saja
setelah menghancurkan hatiku.
Apa
yang harus aku lakukan? Aku sudah tidak kuat lagi menahan penderitaan ini.
Apakah aku bercerai saja? Tapi seorang janda sangatlah dipandang buruk oleh
masyarakat Kumpang. Seorang janda adalah seorang wanita yang tidak dapat
melayani suaminya dengan baik sehingga mereka bercerai. Janda juga dicap
sebagai penggoda suami orang. Lain halnya dengan duda. Kejandaanku juga akan
memperburuk nama keluargaku, terutama ayah selaku ketua suku. Tidak, aku tidak
boleh bercerai karena itu hanya akan membuatku diusir dari rumah dan ayah tidak
akan menganggapku sebagai anaknya lagi.

Rencananya aku akan
pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi tubuhnku yang tidak baik. Sudah
dua hari perutku sangat mual dan hari ini sudah terhitung lima kali aku muntah.
Aku akan pergi setelah hujan yang turun sejak tadi pagi reda.
Aku begitu terkejut
sekaligus bahagia setelah mendengar hasil diagnose dokter. Menurutnya, aku
sedang mengandung 2 bulan. Hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah
memberitahu kabar gembira ini kepada Bang Togar. Aku berharap dengan adanya
anak ditengah-tengah keluarga kami, sikapnya dapat berubah terhadapku.
Berkali-kali aku
menghubunginya, tapi selalu dijawab oleh operator. Akhirnya, aku putuskan untuk
mengabarkannya melalui pesan pendek (sms). Suamiku pulang pada hari ketujuh
sejak sms itu aku kirim. Wajahnya terlihat sendu, pucat dan tubuhnya semakin
kurus.
“Ada apa bang? Kenapa abang pulang
dengan wajah sendu? Tersenyumlah sedikit walaupun hanya untuk anak kita.”
“Aku mohon, gugurkan kandunganmu vin.”
“Apa maksud abang? Abang boleh membenci
aku dan anak kita, tapi jangan suruh aku membunuh darah dagingku sendiri.”
“Aku mohon vin. Itu adalah jalan yang
terbaik untuk kita dan anak kita.”
“Abang pikir membunuh anak kita sendiri
merupakan suatu jalan yang terbaik? Aku bingung. Sebenarnya hati abang itu
terbuat dari apa?”
“Kamu tidak tahu apa-apa.”
“Apa yang abang sembunyikan dariku?
Katakana!”
Dia terdiam sebentar, kemudian dia
menarik nafas dalam-dalam. Seraya menunduk dan menggengam kencang kedua
tangannya dia berkata,
“Aku mengidap HIV.”
“Apa?! Tolong jangan permainkan aku lagi
bang. Sudah terlalu sakit hatiku akibat dari semua perlakuan kejammu.”
“Aku tidak sedang mempermainkanmu. Ini
adalah kenyataan.”
Mendengar pengakuannya tubuhku menjadi
lemas, nafasku terasa sesak, kepalaku pusing, dan pandanganku menjadi kabur.
Seketika itu juga aku menangis.
“Siapa sebenarnya kamu bang? Apa kamu
tahu? Pernikahan yang dapat membawa penderitaan adalah haram hukumnya!”
Aku
langsung memasuki kamar tidur. Aku begitu membencinya dan muak melihat
wajahnya. Aku menangis sekuat-kuatnya dan membanting seluruh barang yang ada
disekitarku. Sayup-sayup aku mendengar suara suamiku dari balik pintu.
“Maafkan aku vin. Aku bersumpah bahwa
aku tidak pernah merencanakan semua ini.”
“Percuma abang minta maaf. Virus ini
telah berkembang biak di dalam tubuhkan dan cepat atau lambat mereka akan
membunuhku tanpa ampun! Lebih baik abang pergi dari sini! Aku muak melihat
wajah abang!”
“Aku akan pergi, tapi tolong dengarkan
dulu penjelasanku.”
“Buat apa? Penjelasan itu hanyalah
pembelaan abang atas dosa yang telah abang perbuat.”
“Aku akui kalau aku telah sangat berdosa
padamu dan anak kita. Tapi sumpah vin, aku tidah pernah merencanakan semua ini.
Aku bahkan tidak ingin ada orang yang bernasib sama denganku. Oleh karena itu,
selama ini aku tidak pernah menyentuhmu.”
“Lalu mengapa abang menikahiku?”
“Aku menikahimu karena dipaksa oleh
kedua orang tuaku. Aku tidak punya alasan untuk menolak perjodohan itu dan aku
tidak berani memberitahu keluargaku bahwa aku mengidap HIV.”
“Aku sama sekali tidak percaya dengan
semua ucapan abang. Kalaupun abang tidak mau, abang bisa menolak. Abang adalah
lelaki.”
“Tidak semua lelaki kuat seperti yang
kau bayangkan. Aku adalah lelaki lemah. Aku begitu takut dengan ayahku sendiri.
Ayahku sangat memprioritaskan bisnisnya dari pada kebahagiaan keluarganya
sendiri. Dia akan melakukan segala cara untuk keberhasilan bisnisnya.”
“Apa maksud abang? Apa hubungan
pernikahan kita dengan bisnis orang tua abang?”
“Orang tuaku menjodohkan kita berdua
karena ingin memperluas lahan perkebunan kelapa sawitnya. Hal tersebut karena
peperangan Suku Dayak dengan Suku Madura yang sering terjadi akhir-akhir ini.
Oleh karena itu, pertama-tama ayah harus mengambil simpati dari penduduk
Kumpang agar mereka mau menerima masukknya lahan perkebunan kelapa sawait
ayahku ke wilayah mereka.
Ayahku melakukan
perjanjian dengan ayahmu untuk mendukung semua rencananya. Perjanjian itu
berisi, aku akan menikah dengan kau dan sebagian keuntungan dari perkebunan
kelapa sawit tersebut akan menjadi milik ayah kau asalkan ayah kau mau
menghasut warga menerima perkebunan kelapa sawit ayahku. Akhirnya ayah kau
setuju dan pernikahan kitapun terlaksana.”
Semua pernyataan bang Togar membukakan
mataku. Akhirnya aku tahu bahwa terdapat tiga orang yang memiliki andil dalam
kehancuran hidupku, yaitu bang Togar, ayahnya bang Togar dan ayahku sendiri.
“Kejadian aku tertular virus ini hampir
sama seperti kau tertular dariku. Sejak kelas 1 SMA, aku mencintai seorang
wanita. Tatapannya sendu, senyumannya manis dan wajahnya cantik bagaikan
bidadari. Aku rasa dia tahu bahwa aku sering memperhatikannya. Aku tidak berani
memberi tahu mengenai perasaanku kepadanya karena aku bukanlah apa-apa jika
dibandingkan dengan pacar-pacarnya yang selalu berganti setiap minggu.
Tanpaku
duga, dia mengundangku ke pesta perpisahan yang diadakan di rumahnya. Aku
datang dengan penampilan yang sangat berbeda. Semua orangpun menatapku. Di
pesta itu aku disodori minuman beralkohol olehnya hingga aku tak sadarkan diri.
Keesokkan paginya aku tersadar dan melihat gadis yang aku cintai tidur
disampingku tanpa sehelaipun busana. Aku begitu takut dan terkejut dengan dosa
yang telah aku perbuat, tetapi dia biasa saja seolah-olah itu adalah sesuatu
yang biasa dia lakukan.
Setelah
delapan tahun tidak bertemu, kami
dipertemukan lagi di sebuah rumah sakit. Pada waktu itu aku ingin memeriksa
diareku yang sudah tiga hari tidak kunjung sembuh. Tubuhnya sangat kurus,
seperti tidak ada lagi daging yang mau menyelimuti tulangnya. Wajahnya juga
sangat pucat dan suaranya begitu lemah. Saat itulah aku tahu bahwa dia
menderita HIV AIDS.
Aku
tidak ada sedikitpun keberanian untuk memeriksakan diriku ke dokter. Pada saat
kondisi tubuhku semakin memburuk, akhirnya aku kumpulkan seluruh keberanianku
untuk periksa dan hasilnya benar seperti dugaanku. Aku mengidap HIV. Hari itu
adalah hari dimana aku mabuk dan menidurimu.
Jujur,
aku mencintai kau. Kau adalah bidadari sesungguhnya yang aku inginkan. Senyuman
kau dapat menenangkanku dan mengembalikan ketegaranku. Tetapi mungkin, jodoh
kita hanya sampai disini. Aku akan pergi. Maafkan aku atas segala penderitaan
yang telah aku berikan kepada kau.”
Kata-kata
terakhirnya begitu menyentuh hatiku, tetapi di sisi lain aku sangat
membencinya. Nasi telah menjadi bubur. Keadaan tidak akan berubah jika aku
berpisah dengannya.
Aku
berusaha untuk menenangkan diri dan berfikir sejenak untuk mengambil sebuah keputusan.
Aku buka pintu dengan penuh keraguan dan aku pandangi punggungnya yang semakin
menjauh. Kemuadian aku berkata,
“Apa benar abang mencintaiku?”
“Benar vin. Aku sangat mencintai kau.”
“Jika abang benar mencintaiku, tetaplah
di sini. Tinggallah bersamaku.”
“Apa kau telah memafkan aku?”
“Selamanya aku tidak akan pernah
memafkan abang. Tapi nasi telah menjadi bubur. Keadaan tidak akan berubah jika
kita berpisah. Lebih baik aku membuat bubur itu menjadi bubur spesial.”
“Terima kasih vin. Jujur, aku tidak akan
kuat menjalani sisa hidupku sendiri. Terima kasih karena kamu telah mau
menemaniku disisa umurku yang tidak akan lama ini.” Sahutnya seraya memelukku
dengan begitu erat.
Kami
menjalani hidup baru dengan kebahgiaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Kini aku tidak perlu lagi menggambar diriku dan suamiku di kaca jendela yang
berembun karena suamiku selalu ada disampingku. Kami menyusun rencana kehidupan
kami. Mulai dari rencana untuk hari esok, hingga rencana untuk hari yang tidak
pasti akan datang.
Rencana
yang pertama kami lakukan adalah pindah ke Jakarta. Kebanyakan orang yang
tinggal di Jakarta bersifat individualis dan mereka telah sering mendengar kata
HIV AIDS, sehingga akan lebih sedikit orang yang akan mencemooh kami. Lagi pula
dokter yang bersedia untuk membantuku melakukan aborsi lebih mudah ditemukan di
Jakarta. Setelah aku menggugurkan kandunganku, aku akan mendaftarkan diri untuk
melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi yaitu universitas. Hal
tersebut diperintahkan oleh suamiku agar aku dapat hidup mandiri setelah
kepergiannya.

Fonis
yang dijatuhkan dokter kepada suamiku akhirnya terjadi. Dua tahun setelah kepindahan kami ke Jakarta,
dia meninggal dunia di sebuah rumah sakit. Hanya aku dan keluarganya yang tahu
penyebab kematiannya. Aku dapat melihat rasa beralah dari kedua orang tuanya
setiap kali mereka menatapku.
Seluruh
tabungan suamiku diberikan sepenuhnya kepadaku. Tabungan itu cukup untuk
membiayai kuliahku dan kebutuhanku sehari-hari. Meskipun suamiku telah
meninggal, anehnya jumlah uang yang ada di dalam kartu kreditku tidak pernah
habis meskipun telah aku gunakan.
Setelah
kuliahku selesai, aku kembali ke Pontianak. Itupun karena permohonan ibuku.
Rencananya aku akan menetap cukup lama di sana untuk meluapkan seluruh
kerinduanku kepada keluargaku. Kemudian aku akan kembali ke Jakarta untuk
meniti karir dan menjalani hidup sendiri. Aku tidak ingin keluargaku tahu bahwa
aku mengidap penyakit HIV. Jika mereka tahu, maka akan timbul masalah baru.
Sesampainya
di Kumpang, aku disambut dengan pakaian-pakaian hitam yang dikenakan oleh
seluruh warga desa. Hal itu merupakan wujud dari rasa simpati mereka terhadap
kematian suamiku. Satu-persatu dari merekapun bertanya mengenai penyebab
kematian suamiku, tetapi pertanyaan itu tidak pernah aku jawab.
Sudah
dua hari aku tinggal di kampung. Semua berjalan biasa-biasa saja sampai malam
itu datang. Ayah memecahkan kesenyuian malam yang sedang aku dan ibu nikmati di
belakang rumah.
“Mengapa kamu tidak pernah menjawab
pertanyaan setiap orang mengenai penyebab kematian suamimu? Apa kamu takut jika
aibmu terbongkar?” Tanyanya sinis.
“Apa maksud ayah?”
“Bukankah suamimu meninggal karena kamu
tidak dapat melayani suamimu dengan baik sehingga penyakit mengakhiri
hidupnya?”
“Sampai kapan ayah akan terus
menyalahkanku? Apakah di mata ayah aku ini selalu salah?”
“Tidak akan ada asap jika tidak ada
apinya.”
“Apa ayah benar-benar ingin tahu sebab
kematian suamiku?”
“Katakanlah jika itu tidak membebanimu.”
“Baik, aku akan menceritakan semuanya.
Suamiku meninggal karena dia mengidap penyakit HIV AIDS dan coba tebak, apakah
aku tertular olehnya atau tidak?”
“Astagfirullah vin. Jaga ucapanmu. Virus
itu adalah virus terkutuk yang sangat mematikan.” Sambung ibu.
“Apa yang salah dengan ucapanku bu?
Semua yang aku ucapkan adalah benar.”
Ayah
tidak merespon sedikitpun ucapanku. Beliau pergi begitu saja dan duduk di kursi
goyang kesanyangannya. Ibu juga pergi setelah mengusap air matanya. Ini adalah
pertamanya aku berani menjawab ucapan ayah. Aku sangat puas dengan apa yang
telah aku ucapkan karena akhirnya bangkai yang terus aku simpan di dalam hati
dapat aku keluarkan. Tapi aku juga sedih karena hal itu membuat ibu sedih.
Semalaman
aku berfikir dan akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Keesokkan
paginya ayah, ibu dan adik-adikku mendiamkan aku. Hal itu membuat tekadku
semakin bulat untuk kembali ke Jakarta. Akupun pergi untuk memesan tiket
pesawat. Sejak aku tapakkan kaki di depan pintu rumah, seluruh warga yang aku
temui mengeluarkan tatapan sinis kepadaku. Belum 24 jam berita itu aku katakan
kepada kedua orang tuaku, berita itu sudah tersebar ke seluruh warga kampung.
Setelah
aku membeli tiket, aku pulang ke rumah untuk membereskan semua barang-barangku.
Rencananya aku akan pergi ke Jakarta dengan penerbangan pesawat pukul 13.00.
Sesampainya aku di rumah, aku melihat dari kejauhan seluruh warga yang
berkumpul di depan rumahku. Sedangkan ayah berada di depan segerombolan warga
dan berusaha menenangkan mereka. Ada diantara mereka yang memebawa obor dan ada
pula yang membawa celurit. Mereka terus berteriak, “usir vina dari kampung
ini!!! Usir! Usir! Usir!”
“Kami tidak ingin kampung ini terkena
bencana karena ada salah satu warga yang mengidap penyakit terkutuk!” Teriak
salah satu warga.
Tiba-tiba saja dari belakangku ibu
menarik tanganku dan menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah melalui pintu
belakang. Sesampainya di dalam rumah, ibu terus memintaku untuk mengklarifikasi
seluruh isu yang menyebabkan kemarahan warga.
“ibu mohon vin, bilang kepada seluruh
warga bahwa semua itu bohong.” Sahut ibuku dengan sangat panik seraya memegang
tanganku dengan erat.
“Iya kak. Hanya kakak yang bisa
menenangkan kemarahan warga.” Tambah adikku yang paling tua.
Tanpa ekspresi dan
tanpa kata, kulepaskan pegangan tangan ibu dan aku berjalan menuju depan rumah
dengan tubuh gemetar. Aku kumpulkan seluruh keberanianku untuk menghadapi
kemarahan warga. Ketika batang hidungku tampak di depan mata mereka, semua mata
tertuju padaku dan seketika itu juga keadaan menjadi sunyi.
“Assalamu’alaikum…” Sapaku.
Secara frontal, seorang warga
melontarkan pendapatnya kepadaku. Sepertinya dia adalah pemimpin aksi masa.
“Engga perlu basa-basi! Mendingan
sekarang juga kamu pergi dari kampung ini!”
Semua orangpun ikut bersuara mendukung
argumen orang tersebut.
“Apa salahku? Kenapa kalian begitu
membenciku.”
“Semua karena penyakit yang kamu derita!
Penyakit itu adalah penyakit terkutuk dan akan membawa bencana bagi kampung
ini.”
“Aku ini hanyalah korban. Aku hanya
menjalankan peranku sebagai seorang istri yang berbakti kepada suaminya. Kalian
tidak perlu khawatir karena virus ini tidak akan menular kepada kalian hanya
dengan aku tinggal di desa ini.”
Semua warga terdiam sejenak. Namun ada
saja yang bersuara keras tetapi kosong otaknya.
“Tetap saja penyakit itu akan
mendatangkan bencana bagi kampung ini. Para leluhur akan marah karena kita
membiarkan penyakit terkutuk itu berada di kampung kita.”
“Baik, aku akan pergi. Tapi aku mohon,
jangan salahkan keluargaku atas masalah ini karena mereka tidak ada hubungannya
dengan penyakit yang aku derita.”
Semua
wargapun kembali ke rumah kami masing-masing. Ayah langsung merebahkan tubuhnya
di atas kursi goyang kesayangannya seraya menutup matanya. Dia terhanyut dalam
goyangan kursi tersebut. Sedangkan aku sibuk memasukkan barang-barangku ke
dalam koper. Ibu terus menangisi masalah yang sedang kami hadapi.
Sebelum
aku meninggalkan rumah dan seluruh keluargaku, aku menyampaikan satu pesan
kepada ayah.
“Satu hal yang ayah lupakan dari adat
istiadat kita, yaitu segala hal yang berkaitan dengan hajat orang banyak
diselesaikan dengan cara musyawarah. Semoga setelah aku, tidak ada lagi orang
yang menderita.”
“Apa maksudmu vin? Apa kamu menyalahkan
ayahmu atas semua masalah ini?” Tanya ibu.
“Sudahlah bu, ibu tidak perlu lagi
menutupi kesalahan ayah. Aku sudah tahu semuanya.”
“Tidak ada yang kami sembunyikan dari
kamu.” Tegas ibu.
“Termasuk alasan ayah menikahkanku
dengan bang Togar? Aku tahu bahwa ayah menikahkanku dengan bang Togar karena
keuntungan yang dijanjikan oleh ayahnya bang Togar bukan? Ayah akan mendapatkan
sebagian keuntungan dari lahan perkebunan kelapa sawit yang masuk ke kampung
kita.”
“Tidak vin, semua itu tidak benar. Kami
menjodohkan kalian berdua karena kami ingin kamu dapat hidup bahagia. Togar dan
keluarganya adalah orang kaya dengan begitu semua kebutuhan kamu akan
tercukupi. Masalah keuntungan itu bukanlah tujuan utama kami, bahkan keuntungan
itu tidak pernah diberikan kepada kami.” Bela ibu.
Akhirnya ayahpun angkat bicara. Dari
balik kursi goyangnya, beliau membenarkan semua tuduhanku atasnya.
“Semua yang kamu katakan benar. Cepatlah
kamu pergi sekarang juga, sebelum warga kampung membakar rumah ini.”
SEKIAN