Cari Blog Ini

Laman

Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 September 2009

Pendidikan

I. Pendahuluan

Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian, yaitu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Dari pengertian-pengertian dan analisis yang ada maka bisa disimpulkan bahwa pendidikan adalah upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungannya. Pendidikan juga merupakan faktor uatama penentu maju tidaknya suatu Bangsa karena pendidikan adalah proses pencetakan generasi-generasi baru sebagai penghancur atau pemaju suatu bangsa. Hal ini tergantung output yang dihasilkan dari pendidikan yang diberikan atau diterima. Apabila output yang dihasilkan “baik” maka bangsa ini akan semakin maju. Sedangkan apabila output yang dihasilkan ”buruk” maka bangsa ini pun akan semakin terpuruk

Pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupkan bangsa. Hal tersebut didetailkan lebih lanjut pada batang tubuh UUD 1945 pasal 31 ayat 1-5 yang mengatur mengenai masalah pendidikan di Indonesia. Pada pasal tersebut dikatakan bahwa:

1. Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.

2. Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Negara wajib membiayainya.

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Pada pasal tersebut jelas terlihat tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh generasi bangsa untuk mengenyam pendidikan demi menjadi bangsa yang cerdas. Pendidikan akan mencetak generasi-generasi cerdas, tangguh dan berkarakter dalam rangka meningkatkan kualitas SDM yang akan menentukan kemajuan bangsa ini.

Bangsa cerdas adalah bangsa yang sanggup menyelesaikan berbagai permasalahan dirinya tanpa perlu bergantung pada pihak lain. Ia juga dapat mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki negaranya, baik SDA maupun SDM guna kepentingan dan kemajuan bangsanya. Bangsa cerdas juga adalah bangsa yang memiliki kedaulatan penuh atas negaranya. Kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa adanya intervensi dari pihak lain, baik bentuk intervensi konkret maupun tersembunyi.

Itulah tujuan hakiki dari pendidikan Indonesia. Sesuai dengan amanah konstitusi tersebut, Pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional guna mencapai tujuan pendidikan Indonesia. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian.

Namun sepertinya Pemerintah kurang sadar akan tujuan dan pentingnya pendidikan tersebut. Hal ini tercermin dari masalah-masalah dalam dunia pendidikan yang tidak pernah selesai bahkan pemerintah sendirilah yang membuat masalah-masalah tersebut muncul dengan mengeluarkan keputusan-keputusan yang mereka sebut sebagai ”kebijakan pemerintah”.

II. UU BHP

Salah satu kebijakan pemerintah yang belum lama ini menggegerkan masyarakat Indonesia adalah dengan disahkannya RUU BHP menjadi UU BHP. RUU BHP disahkan menjadi UU BHP pada tanggal 17 Desember 2008. Pengesahana UU BHP megalami banyak protes dari berbagai kalangan masyarakat, terutama mahasiswa.Bahkan pada saat pengesahan, terjadi kericuhan antara mahasiswa dengan aparat pemerintah di dalam gedung DPR MPR.

BHP (Badan Hukum Pendidikan) merupakan suatu konsep baru yang ditawarkan pada dunia pendidikan Indonesia. Konsep tersebut adalah pengubahan bentuk institusi-institusi pendidikan formal di Indonesia menjadi berbentuk Badan Hukum. Mulai dari pendidikan dasar (SD, SMP, dan sederajat), pendidikan menengah (SMA, dan sederajat) hingga pendidikan tinggi. Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk badan hukum pendidikan ini tertuang dalam UU BHP.

Sebagai suatu institusi yang berbentuk Badan Hukum, BHP memiliki esensi dan karakteristiknya yang khas sebagai suatu badan hukum. Esensi ini merupakan satu hal yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari keberadaannya sebagai suatu badan hukum. Karenanya merupakan konsekuansi logis jika pada keberjalanannya institusi pendidikan dengan bentuk BHP ini akan menjalankan mekanisme pengelolaan sebagaimana layaknya pengelolaan badan hukum (perusahaan). Suatu perusahaan akan menjalankan kegiatannya berorientasi pada keuntungan. Demikian pula halnya yang terjadi dengan Badan Hukum Pendidikan. Hal tersebut dapat terlihat pada berbagai pasal dalam UU BHP dan setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi 3 aspek yaitu :

1. Pendanaan, Usaha, dan Pengelolaannya

Pada pasal 37 ayat 1 UU BHP disebutkan bahwa kekayaan awal BHPP, BHPPD, atau BHPM berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan Akibat dari adanya mekanisme ini adalah meskipun BHP tersebut didirikan oleh pemerintah, kekayaannya tetap terpisah dari keuangan Negara. Kekayaan dan pendapatan BHP dikelola secara mandiri oleh institusi tersebut secara transparan dan akuntabel (pasal 37 ayat 5). Mekanisme pengelolaannya tentu serupa dengan mekanisme pengelolaan kekayaan dan pendapatan pada suatu badan hukum.

Dari sisi pendanaan, Pasal 41 UU BHP menjelaskan mengenai pendanaan dari Badan Hukum Pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Pada pasal tersebut terlihat bahwa baik pada pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi, tetap terdapat porsi-porsi pembiayaan yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan otomatis harus dipenuhi sendiri oleh Badan Hukum Pendidikan tersebut, baik sumber pendapatan yang berasal dari peserta didik maupun bukan, selain itu masih ada pembagian pendanaan antara BHP dan Pemerintah yang tidak jelas porsinya (lihat pasal 41). Dari sinilah terbuka beberapa mekanisme usaha bagi BHP untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya. Persis seperti badan hukum (perusahaan) menjalankan usahanya. Hal ini tentunya membuka lebar liberalisasi dan komersialisasi dalam institusi pendidikan, dan diperkuat oleh pasal-pasal berikut: Pertama, BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat mendirikan suatu badan hukum (perusahaan) guna membiayai biaya operasional. Hal tersebut tercantum pada pasal 43 ayat 1. Pada undang-undang ini tidak terdapat penjelasan mengenai jenis-jenis usaha apa saja yang diperbolehkan atau yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan oleh institusi BHP.

Kedua, BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio (saham). Hal tersebut tercantum dalam pasal 42 ayat 1. Artinya, sebagaimana layaknya perusahaan, institusi pendidikan berbentuk BHP pun dapat bermain di bursa saham. Usaha ini sangat riskan, terlebih bila dijalankan oleh sebuah badan hukum pendidikan. Apalagi mengingat krisis luar biasa yang melanda pasar finansial di seluruh dunia dan mengakibatkan puluhan perusahaan termasuk perusahaan-perusahaan besar gulung tikar dalam waktu singkat. Bagaiman bila hal tersebut menimpa BHP? Tentu saja dibubarkan, dan akan berlaku UU kepailitan seperti yang disebutkan dalam pasal 58 ayat 4. Tentang nasib keberjalanan proses pendidikan itu sendiri tak usah kita pertanyakan lagi. Begitu juga tentang kisah guru dan siswanya.

Hal lain yang irasional adalah, seperti dijelaskan pada pasal 42 ayat 4 bahwa ‘Investasi dilaksanakan atas dasar prinsip kehati-hatian untuk membatasi resiko yang ditanggung Badan Hukum Pendidikan’. Jelas-jelas pada ayat tersebut disebutkan bahwa permainan saham yang dilakukan oleh institusi BHP mengandung resiko. Meskipun tidak dijelaskan besar kecilnya resiko yang mungkin terjadi, adalah hal yang mungkin resiko terbesar dari mekanisme tersebut adalah pembubaran (kepailitan) dari institusi BHP. Tidak ada jaminan bahwa konsekuensi terburuk itulah tidak akan terjadi. Bagaimana mungkin sebuah sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti pendidikan dibuat dalam sebuah mekanisme ketidakjelasan yang beresiko tinggi.
Penanaman Modal Dalam Badan Hukum Pendidikan.

2. Penanaman Modal dalam Badan Hukum Pendidikan

Konsekuensi dari bentuk institusi pendidikan sebagai Badan Hukum adalah kebebasannya untuk mencari sumber dana. Apalagi ternyata pemerintah pun tidak membiayai sepenuhnya dan tidak pula menjamin secara utuh ketersediaan biaya bagi operasional suatu institusi pendidikan (lihat pasal 41). Karenanya terdapat suatu keterbutuhan dari institusi BHP untuk mendapatkan dana operasional.

Selain dari mekanisme pendanaan yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat mekanisme lain sebagaimana tercantum pada pasal 45 ayat 1, yakni:
‘Masyarakat dapat memberikan dana pendidikan pada Badan Hukum Pendidikan … sesuai dengan peraturan perundang-undangan’. Pada pasal ini tidak dijelaskan masyarakat yang mana yang dimaksudkan. Apakah itu masyarakat sipil biasa, ataukah para pengusaha (pemilik modal)? Bahkan, meskipun yang dimaksud dengan ‘masyarakat’ pada ayat tersebut adalah gabungan dari keduanya, kita dapat pikirkan sendiri, masyarakat jenis apa yang mampu ‘mengucurkan’ dana bagi suatu institusi BHP.

Lebih jauh lagi, dalam menganalisis aspek ini, kita tidak bisa hanya terpaku pada UU BHP saja, melainkan juga pada peraturan perundang-undangan lainnya. Karena peraturan perundang-undangan lain lah yang memberikan pengaturan mengenai apa dan bagaimana mekanisme masyarakat dalam memberikan dana kepada institusi BHP. Hal tersebut tercantum dalam UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 dan PerPres No.77 tahun 2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. Jadi, salah satu mekanisme dari BHP untuk memperoleh dana operasional adalah dengan menarik investor dan membuka investasi pihak luar terhadap dirinya. Inilah salah satu esensi utama juga urgensi utama dari bentuk Badan Hukum Pendidikan.

Investor hanya akan menginvestasikan dananya pada sektor-sektor yang dirasa dapat memberikan keuntungan baginya. Sektor pendidikan adalah sektor yang menggiurkan karena pendidikan merupakan kebutuhan inelastik dan vital bagi setiap Negara termasuk Indonesia. Keuntungan yang dijanjikan dari ‘bisnis’ di bidang pendidikan ini sangat menggiurkan mengingat pasar pendidikan tidak pernah kehilangan konsumen. Meskipun demikian untuk menginvestasikan dananya, para investor perlu mendapat keyakinan bahwa dana yang mereka investasikan pada suatu lembaga akan menghasilkan keuntungan. Oleh karenanya mereka membutuhkan lembaga yang auditable dan accountable. Kedua kriteria inilah yang ditawarkan oleh sebuah badan hukum. Karena itu pengubahan bentuk institusi pendidikan menjadi badan hukum adalah hal yang urgen untuk menarik investor.

Satu hal lagi yang menarik adalah mengenai kemungkinan masuknya modal asing dalam penyelenggaraan pendidikan Indonesia. Pada draft RUU BHP per agustus 2007 pasal 7 terdapat pengaturan mengenai bolehnya lembaga pendidikan asing mendirikan BHP di Indonesia dengan kepemilikan modal paling banyak 49% dari kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.

Hal ini mendapat kecaman dari banyak pihak, baik para ahli maupun mahasiswa. Pada perkembangan berikutnya (versi draft selanjutnya), kata-kata ‘lembaga pendidikan asing mendirikan BHP di Indonesia dengan kepemilikan modal paling banyak 49% dari kebutuhan penyelenggaraan pendidikan’ hilang dari draft RUU BHP sehingga banyak kalangan yang merasa’ lega’ dan merasa bahwa RUU BHP tersebut aman karena tidak lagi mencantumkan kepemilikan modal asing pada suatu institusi pendidikan. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Meskipun kata-kata kepemilikan modal asing dihilangkan dari draft RUU BHP, namun pada PerPres no.77 tahun 2007 tetap disebutkan bahwa salah satu badan usaha yang dapat dimasuki modal asing adalah pendidikan, baik formal maupun informal. Persentasi besarnya modal asing tersebut adalah 49%. Artinya, institusi pendidikan dalam bentuk BHP tetap dapat menerima investasi dari modal asing hingga maksimal 49% dari biaya operasionalnya. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dalam UU BHP pun tidak terdapat larangan untuk menerima investasi modal asing. Dan dari pembagian porsi pendanaan, investasi asing memiliki peluang yang cukup besar untuk memegang persentase terbesar. Bagaimana mungkin sektor yang penting seperti pendidikan dalam suatu negara dikuasai oleh modal asing. Seperti apa kebijakan yang akan diterapkan didalam badan hukum ini yang jelas-jelas bersifat “mandiri”? lalu seperti apa wujud kedaulatan negeri ini bila sektor pendidikannya diselenggarakan oleh pihak asing?

Fenomena ini menggelikan. Terlihat betapa Pemerintah mempermainkan masyarakatnya. Mencoba ‘mengikuti’ tuntutan masyarakat untuk menghapuskan kemungkinan kepemilikan modal asing dalam RUU BHP namun dibalik itu ternyata tetap ada peraturan yang memperbolehkan masuknya investasi asing dalam dunia pendidikan. Fenomena ini jarang sekali terekspose pada masyarakat luas dan seringkali menjadi hal yang luput dari perhatian banyak pihak.

3. Pembubaran BHP (Kepailitan BHP)

Sebagaimana layaknya suatu badan hukum, Badan Hukum Pendidikan pun memiliki mekanisme pembubaran atau kepailitan. Hal tersebut diatur pada pasal 57, 58 dan 59 UU BHP. Khusus pada pasal 58 ayat 4 dikatakan bahwa ‘Apabila badan hukum bubar karena pailit, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan.’ Artinya disini, posisi BHP tidak berbeda dengan perusahaan dimana pada perusahaan yang dinyatakan pailit pun berlaku undang-undang kepailitan.

Dalam hal ini, badan hukum pendidikan (bukan pemerintah) tetap bertanggung jawab untuk menjamin penyelesaian masalah pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Tenaga pendidik (guru) dengan status PNS akan dikembalikan ke instansi induk. Lalu guru yang berstatus pegawai badan hukum pendidikan mengikuti perjanjian yang telah dibuat. Jelaslah disamping adanya komersialisasi badan hukum pendidikan, guru pun ikut dikomersilkan dengan adanya bentuk badan hukum ini yang tentu saja tidak membuat guru PNS dan guru yang menjadi pegawai badan hukum pendidikan bernafas lebih lega dari resiko ini. Begitupula halnya dengan para peserta didik yang akan dipindahkan ke badan hukum yang lain setelah pembubaran badan hukum yang bersangkutan, belum tentu badan hukum pendidikan yang ada mampu menampung kuantitas peserta didik tersebut, lagipula badan hukum pendidikan memberlakukan kebebasan bagi tiap BHP unuk menentukan kurikulumnya, maka akan terjadi penyesuaian antara kurikulum yang diterima peserta didik yang akan memakan banyak waktu, didukung pula oleh budaya ruwetnya birokrasi negara ini. Maka tak dapat disangsikan bahwa peserta didik akan terganggu proses belajarnya. Selain itu, pembubaran ini juga harus diikuti oleh likuidasi, berarti seluruh aset badan hukum pendidikan baik aset usaha maupun aset pendidikan akan dicairkan seluruhnya.

Oleh karena itu, bagaimana mungkin suatu institusi pendidikan memiliki kemungkinan untuk pailit (bubar)? Mengingat pendidikan merupakan hal pokok yang menentukan kualitas SDM bangsa dan dengan sendirinya juga berpengaruh terhadap kemajuan-kemunduran bangsa ini, maka pembubaran (kepailitan) adalah hal yang tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, terlihat bahwa konsep BHP dalam penyelenggaraan pendidikan bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri karena hampir seluruh pasal bertujuan untuk meliberalisasikan pendidikan.

Perlu diingat kembali bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh generasi bangsa untuk mengenyam pendidikan demi menjadi bangsa cerdas. Namun UU BHP membuat masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi rendah sangat sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Alih-alih mencetak generasi cerdas, pendidikan Indonesia justru diliberalisasi dan dijadikan komoditas. Pendidikan dianggap sebagai pasar yang menguntungkan dengan para investor yang bermain di dalamnya. Pendidikan dipandang sebagai sektor bisnis yang menguntungkan. Posisi pendidikan sebagai aspek penting penentu kemajuan negeri ini nampaknya tergeser oleh keuntungan-keuntungan materi yang dijanjikan.

Pengalihbentukan institusi pendidikan menjadi BHP telah menghilangkan penjaminan pemerintah terhadap kepastian setiap warga Negara dalam memperoleh pendidikan ini. Bentuk BHP memungkinkan pengelolaan diserahkan pada masing-masing institusi pendidikan dengan peran pemerintah yang minimal di dalamnya. Seakan-akan pemerintah tidak bersedia lagi mengurusi pendidikan di Indonesia sehingga berusaha lepas tangan.