Cari Blog Ini

Laman

Total Tayangan Halaman

Senin, 21 November 2011

kritikan atas pemikiran ibnu sina dan al-Farabi menurut Pifi Lutfianti

Perbandingan antara Al-Farabi dan Ibnu Sina:

1. Pada dasarnya pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina berhaluan pada pemikiran Aristoteles dan Plato. Namun terdapat perbedaan fokus utama dalam karya-karya meraka. Sebagian besar karya Al-Farabi tercurahkan pada logika dan filsafat bahasa, sedangkan Ibnu Sina lebih memfokuskan pada logika dan fisika. Hal ini dikarenakan prinsip al-farabi bahwa seni tata bahasa seyogyanya sangat diperlukan untuk menjadikan kita tahu dan paham terhadap prinsip-prinsip seni (logika). Sedangkan bagi ibnu sina logika merupakan kunci filsafat, yang pencariannya adalah kunci kebahagiaan manusia dan fisika berhubunga dengan studi tentang prinsip-prinsip tertentu dan hal-hal yang terkait dengan benda-benda alam sehingga keduanya sangat penting untuk dibahas.

2. Dalam filsafat praktisnya, al-farabi lebih memfokuskan pada filsafat politik yang sangat Platonik dan mencerminkan citra ideal filsafat politik Plato serta didasarkan pada landasan-landasan metafisika. Sedangkan ibnu sina membahas filsafat praktis lebih luas. Ibnu sina membagi pembahasan filsafat praktis menjadi tiga, yaitu prinsip-prinsip yang mendasari berbagai urusan publik antar anggota masyarakat, prinsip-prinsip yang mendasari berbagai urusan personal di dalam masyarakat, dan prinsip-prinsip yang mendasari urusan individu.

3. Dalam konteks demonstrasi, al-farabi dan ibnu sina sependapat dengan aristoteles bahwa demonstrasi dalam pengertiannya yang paling ketat hanyalah berkaitan dengan hal-hal yang dapat diketahui dengan kepastian-niscaya.

4. Al-farabi tidak menyebutkan sesuatu yang menyerupai daya yang nantinya oleh ibnu sina disebut “estimasi”.

5. Al-farabi membagi intelek menjadi dua, yaitu intelek potensial yang diartikan sebagai daya yang berada dalam setiap jiwa manusia dan intelek agen yang dianggap sebagai substansi imaterial dan kekal yang berfungsi sebagai sebab efisien penggerakan pemikiran (inteleksi) manusia, yang memungkinkan pengabstraksian konsep-konsep universal dari citra-citra indriawi. Dalam perkembangannya, al-farabi menghasilkan empat makna yang berbeda untuk istilah intelek, yaitu intelek potensial, intelek aktual, intelek perolehan dan intelek agen.

Sedangkan ibnu sina menyebutkan bahwa jiwa rasional memiliki dua bagian, yaitu intelek praktis yang mengarah pada badan dan intelek teoretis yang mengarah pada dunia Illahi dan memungkinkan seseorang menerima intelijibel. Intelek teoretis bergerak melalui empat tahapan, yaitu intelek potensial, intelek habitual, intelek actual, dan intelek perolehan.

6. Dalam metafisika al-farabi dan ibnu sina sependapat dengan metafisika emanasional Neoplatonik, yang titik pusatnya adalah wujud-wujud Illahi dan hubungan kausalnya dengan alam duniawi. Namun terjadi ketidak jelasan sikap yang diambil oleh al-farabi. Al-farabi terlihat sangat hati-hati mencoba untuk tidak menyebutkan metafisika emanasional Neoplatonik. Al-farabi juga banyak mengambil pemikiran aristotelian dalam hal sifat-sifat emanasi Tuhan dan cirri-ciri Tuhan. Al-farabi mencirikan tuhan sebagai intelek yang aktifitas utamaNya adalah “merenungkan dirinya sendiri”, sama seperti Aristoteles yang mengkonsepsikan aktivitas Tuhan sebagai “berpikir tentang berpikir”. Sebagai hasil perenungan diriNYa terjadilah pelimpahan atau emanasi yang terus menerus hingga terciptalah alam semesta ini.

Ibnu sina berbeda pendapat dalam hal sifat-sifat Tuhan dengan Aristoteles. Baginya Tuhan tidak memiliki sifat-sifat yang berkaitan dengan dunia. Alasannya adalah karena Esensi Tuhan bersifat tunggal dan sempurna sehingga tidak mungkin Tuhan berhasrat kepada dunia atau sesuatu yang ada di dunia.

7. Dalam teori kenabian, al-farabi dan ibnu sina memiliki pendapat sama. Menurut mereka nabi merupakan manusia yang tertinggi, yang diberikan kelebihan kemampuan imajinasi dan imitasi oleh Tuhan tanpa harus berusaha dengan keras seperti manusia biasa.

Tanggapan atas pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina

Pada dasarnya saya tidak memiliki kemampuan untuk menanggapi pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina karena ilmu saya yang masih sedikit dan saya hanya mengetahui pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina dari materi yang di foto kopi, sehingga bisa terjadi perbedaan persepsi dalam penulisan ulang pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina. Namun, saya akan mencoba menanggapi pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina berdasarkan pemahaman yang saya pahami dari materi yang Bapak kasih.

Pemikiran Al-Farabi

1. Menurut Al-Farabi, imajinasi merupakan daya penyimpan dan penimbang yang bertanggung jawab atas penyimpanan citra atau kesan mengenai hal-hal yang dapat diindra setelah mereka lenyap dari indra maupun pengontrolan atas citra tersebut dengan menyusun dan mengurainya untuk kemudian membentuk citra yang baru.

Dalam hal ini saya kurang setuju karena imajinasi tidak hanya membentuk citra yang baru, bisa jadi citra yang telah ditanggap oleh indra kemudian dibentuk atau dikeluarkan menjadi citra yang sama dengan citra yang ditanggap oleh indra.

2. Saya kurang setuju dengan teori emanasi yang dikemukakan oleh neoplatonik. Menurut teori emanasi, alam semesta tercipta dari pancaran tuhan dan alam semesta tercipta dari ada menjadi ada, yaitu terbentuk dari asap. Namun jika dipertanyakan lagi siapa yang menciptakan asap tersebut, maka dijawab asap tercipta dari pancaran tuhan. Kalau begitu maka dapat dikatan bahwa alam semesta tercipta dari tidak ada menjadi ada melalui proses. Proses pertama yaitu berupa asap. Jika ditelaah berdasarkan kalimat “pancaran Tuhan”, maka dapat dikatan bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya. Pada saat Tuhan ada maka secara otomatis alam semsta tercipta karena alam semesta tercipta dari pancaran Tuhan. Namun pada surah Yasin ayat 82: “sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya “jadilah!” maka jadilah sesuatu itu.”. dalam ayat tersebut terlihat bahwa segala sesuatu itu atas kehendak Allah dan bukan terjadi dengan sendirinya (hukum sebab-akibat). Tambah lagi, dalam teori emanasi diibaratkan Tuhan dengan alam semesta bagaikan matahari dengan sinarnya. Hal ini bertentangan karena Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluk ciptaanNya.

Saya setuju dengan pendapat Al-Farabi yang mengatakan bahwa “kita tidak memiliki ilmu metafisika” karena menurut saya, pada dasarnya setiap makhluk memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga akal manusia tidak sanggup untuk memikirkan wujud Tuhan dan bahkan Tuhan menyuruh manusia untuk tidak memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan wujudNya.

3. Menurut Al-Farabi, mereka yang hidup di kota jahiliah tidak akan mengalami hukuman di akhirat kelak. Hal yang sama juga berlaku bagi warga kota sesat yang telah disesatkan oleh pemimpin mereka. Menurut saya, pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran teologi yang menyatakan bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Setiap manusia diwajibkan menuntut ilmu oleh Tuhan, itulah sebabnya Tuhan memberikan akal kepada manusia agar manusia senantiasa berfikir dan setiap manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan berbuat. Memang, Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban suatu kaum jika tidak ada satupun nabi atau rasul yang datang kepada kaum tersebut. Namun, dalam sejarahnya Allah menurunkan nabi kepada setiap masa (beberapa kaum meyakini bahwa tidak semua nama-nama nabi tertulis dalam Al-Qur’an) dan beberapa rasul. Kenyataanya, merekalah yang mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Nabi dan Rasul.

Islam bukanlah agama yang didapat dari keturunan. Kesempurnaan islam harus didapat melalui usaha manusia dalam menuntut ilmu, oleh karena itu penuntut ilmu lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan ahli ibadah dan beribadah tanpa ilmu maka sia-sia.

Jikalau,warga kota memiliki pemimpin yang sesat, maka merka wajib memberikan peringatan kepada pemerintah karena setiap manusia diwajibkan untuk berdakwah, “jika tidak bisa dilakukan dengan tangan, maka lakukanlah dengan mulut (ucapan), dan jika tidak bisa, maka lakukanlah dengan hati. Maka itulah selemah-lemahnya iman.”

Pemikiran Ibnu Sina

1. Menurut ibnu sina, kecenderungan mendekat kepada suatu objek adalah karena objek itu diimajinasikan atau diperkirakan berguna. Saya kurang sependapat dengan pemikiran tersebut, karena bisa terjadi kemungkinan bahwa suatu objek tersebut tidak berguna namun disenangi dan disenangi itu belum tentu dapat bermanfaat, contohnya alkohol, narkoba dan rokok.

2. Menurut ibnu sina jiwa material adalah immaterial konsekuensinya jiwa rasional adalah tunggal, oleh karena itu jiwa rasional tidak dapat rusak. Kemudian timbul dalam benan saya, yaitu “lalu bagaimana dengan orang gila? Bukankah jiwa rasional mereka telah rusak sehingga mereka tidak dapat melakukan perbuatan yang benar,bahkan mereka tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan.

3. Bagi Ibnu Sina, pengetahuan tentang realitas segala sesuatu hanya diperlukan untuk kebahagiaan, tetapi bukan untuk keberadan setelah mati. Namun, bagi para teolog segala sesuatu yang dilakukan di dunia ditujukan untuk Allah SWT dan tujuan akhir mereka adalah untuk mendapatkan kebahagiaan atas keberadaannya di akhirat (untuk mendapatkan surga)

4. Kepemeliharaan didefinisikan sebagai pengetahuan Tuhan mengenai tatanan wujud dan kebaikannya, pengetahuanNya bahwa Dia adalah sumber emanasi tatanan ini karena hal itu mungkin dan bahwa Dia senang dengan tatanan ini. Menurut saya, kepemeliharaan ini sangat berkaitan dengan kemahakuasaan Tuhan dan Tuhan sebagai Maha Pencipta. Tuhan Maha Pencipta, oleh karena itu Tuhan lah yang memelihara seluruh tatanan alam semesta dan apabila Dia ingin menghancurkannya atau merubah tatanan, maka akan terjadi kehancuran. (seperti kiamat pada dunia, dan benda-benda langit lainnya.)

Saya mencoba untuk mengomentari pendapat para filsuf yang mangatakan bahwa manusia akan dibangkitkan hanya berupa jiwanya saja. Saya sependapat dengan Al-Ghazali dan para teolog bahwa manusia akan dibangkitakan jiwa dan raganya. Hal tersebut didasarkan pada Al-Qur’an surah Yasin ayat 78-79:

“ dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh? Katakanlah Muhammad, “yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan dia mengetahui tentang segala makhluk”

Menurut saya, penafsiran ayat yang “memanggil jiwa-jiwa yang tenang” bisa jadi jiwa-jiwa tersebut hanya dipanggil, namun yang dibangkitkan adalah jiwa dan raga.