Cari Blog Ini

Laman

Total Tayangan Halaman

Senin, 24 Mei 2010

I. Pendahuluan

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Menurut definisi tersebut, kebudayaan bukannlah sesuatu yang telah diwarisi oleh nenek moyang tanpa adanya sistem pembelajaran terlebih dahulu, seperti warna kulit, jenis rambut, raut wajah, dan lain-lain tetapi kebudayaan segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia dengan proses pembelajaran serta diterapkannyapun dilakukan melalui proses pembelajaran yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang.
Kebudayaan itu sendiri sangat erat kaitannya dengan manusia karena manusia merupakan wahana kebudayaan sehingga hidup atau berkembangnya suatu kebudayaan tergantung pada manusia itu sendiri. Selain itu, manusia juga menentukan perubahan-perubahan yang terjadi pada kebudayaan dalam perkembangannya. Kita dapat melihat bagaimana cara sekelompok masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungannya melalui kebudayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat tersebut karena kebudayaan merupakan ciri khas manusiawi. Setiap kelompok masyarakat yang tinggal di daerah yang berbeda pasti memiliki ciri khusus yang membedakan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain meskipun memiliki silsilah keturunan nenek moyang yang sama. Ciri khusus ini dapat disebabkan oleh kondisi dan pola pikir masyarakat yang berbeda serta lingkungan alam yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa kebudayaan merupakan identitas suatu kelompok masyarakat, seperti halnya Indonesia.
Seperti yang telah kita ketahui, Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah kepadatan penduduk terbesar keempat di dunia. Hal itu diikuti dengan banyaknya jumlah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia atau sering disebut sebagai multikulturalisme. Kebudayaan Indonesia itu sendiri merupakan warisan dari nenek moyang yang mengalami pengaruh dengan kebudayaan lain, seperti kebudayaan India, Cina, Eropa, Melayu dan Barat baik secara akulturasi maupun asimilasi.
Kebudayaan merupakan warisan nenek moyang yang sangat bernilai harganya sehingga memiliki manfaat yang begitu besar bagi Bangsa Indonesia, antara lain kebudayaan sebagai identitas dan jati diri Bangsa Indonesia serta kebudayaan dapat meningkatkan devisa negara.
Setiap daerah memiliki ciri khas dari kebudayaan mereka masing-masing yang menjadi tanda pengenal atau identitas suatu daerah. Kebudayaan yang terdapat di setiap daerah merupakan kekayaan yang dapat dijadikan sebagai identitas Bangsa Indonesia dimata dunia, contohnya saja batik. Batik telah diakui oleh seluruh dunia sebagai kebudayaan Indonesia dengan terdaftarnya batik di UNESCO sehingga apabila orang-orang di seluruh dunia melihat batik maka yang terlintas di pikirannya adalah asal negara pembuat batik tersebut yaitu Indonesia. Kebudayaan Indonesia juga merupakan jati diri masyarakat Indonesia itu sendiri karena pola kehidupan maupun kondisi masyarakat Indonesia tercermin dari kebudayaan yang ada.
Gagasan tentang menjadikan kebudayaan nasional Indonesia sebagai suatu identitas sudah dirancang sejak sebelum negara ini merdeka. Kelompok yang pertama kali memplopori pentingnya kesadaran tentang identitas Indonesia adalah Perhimpunan Indonesia dalam manifesto politiknya pada tahun 1925 yang dikemukakan dalam tiga hakekat, yaitu kedaulatan rakyat, kemandirian dan persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian segera direspons dengan semangat tinggi oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Kebudayaan juga merupakan investasi yang dapat menghasilkan keuntungan bagi masyarat Indonesia itu sendiri maupun Negara Indonesia. Kebudayaan dapat menarik wisatawan asing untuk datang ke Indonesia sehingga dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar dan dapat manambah devisa negara.
Selain keuntungan-keuntungan tersebut, masih banyak lagi keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari kebudayaan, seperti kebudayaan sebagai alat menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, landasan berfikir dan bersikap yang baik bagi masyarakat (contohnya kebudayaan gotongroyong), dan lain-lain.
Salah satu butir yang direkomendasi oleh World Conference on Cultural Policies (1982) adalah: 'kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan'.
Namun sepertinya pemerintah Indonesia tidak sadar akan potensi-potensi tersebut. Hal ini tercermin dari sikap pemerintah yang terlihat apatis bahkan berusaha menghambat tumbuh kembangnya kebudayaan Indonesia dengan diterapkannya kebijakan-kebijakan baik secara langsung maupun tidak langsung.


II. Analisis Masalah
Pada masa awal Indonesia merdeka, identitas nasional ditandai dengan bentuk fisik dan kebijakan umum untuk seluruh rakyat Indonesia, antara lain ialah penghormatan terhadap Sang Saka Merah-Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Bahasa Nasional, pembentukan TKR yang kemudian menjadi TNI, PNS, sistem pendidikan nasional, sistem hukum nasional, sistem perekonomian nasional, sistem pemerintahan, sistem birokrasi nasional, dan lain-lain. Kesadaran identitas nasional dipupuk dengan menanamkan gagasan nasionalisme dan patriotisme. Gagasan nasionalisme inilah yang menyebabkan rasa bangga terhadap kebudayaan yang ada. Kesadaran identitas nasional ini pula menjadi dasar dari keyakinan akan perlunya memelihara dan mengembangkan harga diri bangsa, harkat dan martabat bangsa sebagai perjuangan mencapai peradaban sebagai upaya melepaskan bangsa dari subordinasi (ketergantungan, ketertundukan, keterhinaan) terhadap bangsa asing atau kekuatan asing. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah melarang masuknya kebudayaan barat tanpa adanya penyeleksian terlebih dahulu karena dinilai bertentangan dengan kebudayaan Indonesia. Meskipun kebijakan ini baik karena dapat mempertahankan kebudayaan daerah, namun hal ini dapat menyebabkan tidak berkembangnya kebudayaan daerah itu sendiri.
Hal tersebut sangatlah berbeda dengan masa kepemimpinan Soeharto. Sikap pemerintah sangatlah bersifat otoriter. Masyarakat dilarang untuk mengekspresikan sebebas mungkin diri mereka sendiri. Bahkan telah terjadi penyelewengan simbol-simbol negara yang dimanfaatkan untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan, antara lain adalah Pancasila dan istilah Bhineka Tunggal Ika.
Kontrol atas ekspresi budaya di Indonesia sangat dipengaruhi oleh motto "Bhinneka Tunggal Ika". Agar "Bhineka Tunggal Ika" dapat diterapkan secara maksimal, masing-masing budaya daerah harus meningkatkan kebudayaan nasional sebagai identitas bangsa. Seluruh kebudayaan yang ada diseleksi untuk menjadi kebudayaan nasional sedangkan kebudayaan yang tidak terpilih maka akan dibatasi perkembangannya. Proses memilih elemen yang akan dimasukkan dalam identitas ini sering menyebabkan redefinisi dan recontextualization bahan budaya, sehingga membuat miskomunikasi, kesalahpahaman, dan rekonstruksi budaya. Namun pada kenyataannya kebudayaan nasional ini tidak dapat mencakup seluruh kebudayaan di Indonesia, seperti pengukuhan Patih Gadjah Mada sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia.
Pada masa rezim soeharto, sistem kepemerintahan juga lebih menjorok kearah barat. Banyak investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia yang katanya bertujuan untuk membangun negara. Akhirnya muncullah pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang berasal dari negara barat adalah baik karena negara barat dinilai lebih maju, tambah lagi dengan semakin terkikisnya kebudayaan daerah sebagai jati diri masyarakat. Akibatnya banyak masyarakat yang berbondong-bondong menerapkan berbagai macam kebudayaan barat tanpa menyaring terlebih dahulu kebudayaan barat yang tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Kasus ini terus berlangsung hingga saat ini.
Sebelum Orde Baru runtuh, banyak bermunculan gerakan-gerakan anti pemerintah yang menuntut pergantian sistem. Hal ini berarti gerakan-gerakan tersebut mengakui dan mendukung multikulturalisme yang lebih memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap keberagaman budaya. Sehingga semua kebudayaan yang ada harus diberikan kebebasan yang sama untuk berkembang.
Setelah era Orde Baru berakhir, masuklah Indonesia pada masa baru, yaitu Reformasi. Era ini ditandai dengan diberikannya kebebasan yang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat. Namun kebebasan yang tidak terkontrol ini justru terkadang mengarah pada primodialisme, eklusivitas, dan bahkan membawa pada dominasi kebudayaan lain yang tidak sesuai dengan kebudayaan Nasional sehingga semakin terkikisnya kebudayaan nasional.
Era Reformasi ini mengalami perubahan menuju sistem demokrasi, yaitu saat ini. Rezim ini dibarengi dengan perkembangan teknologi informasi secara besar-besaran. Setiap orang di seluruh dunia dapat berkomunikasi tanpa batas. Kebudayaan luar di expose secara besar-besaran oleh media. Hal ini semakin memperburuk kondisi kebudayaan di Indonesia.
Kita tidak dapat juga menjadikan globalisasi dan kebudayaan barat sebagai kambing hitam karena bagaimanapun pengaruh globalisasi memang tidak dapat dihindari. Apabila Indonesia ingin menjadi negara maju maka masyarakatnya harus bersikap terbuka terhadap sesuatu yang baru. Namun sikap keterbukaan masyarakat telah melewati batasannya. Masyarakat justru lebih terbuka dan menerima segala sesuatu yang dipertontonkan oleh dunia Barat karena dianggap lebih berbudaya dan moderen. Sedangkan kebudayaan yang menjadi simbol masyarakt justru dianggap kolot dan tidak pantas diadopsi atau dikembangkan. Hasilnya, kebudayaan yang menjadi jati diri dan identitas bangsa justru ditinggalkan dan dimaknai sebagai kebudayaan tradisional. Banyak juga masyarakat yang mengalami cultural shock akibat dari kurang siapnya masyarakat dalam menghadapi ancaman global.
Kondisi buruk ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah. Sejak berakhirnya Orde Lama, kepemerintahan selanjutnya tidak peduli terhadap kebudayaan bangsa. Seperti yang telah saya paparkan sebelumnya, pemerintah hanya peduli dengan perkembangan ekonomi, pembangunan gedung-gedung mewah dan isi perut mereka saja. Telah banyak peninggalan-peninggalan kebudayaan yang diambil oleh bangsa luar, seperti naskah kuno, parasasti, dan lain-lain.
Namun baru-baru ini pemerintah mulai terlihat batang hidungnya dalam mempertahankan kebudayaan Indonesia setelah Malaysia secara lantang mengklaim kebudayaan-kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan mereka. Saat itu, para seniman turun ke jalan untuk menuntut pemerintah agar segera mengambil tindakan. Sejak itu, pemerintah mulai satu persatu mendaftarkan kebudayaan Indonesia ke UNESCO atas hak cipta. Hal ini ditanggapi dengan baik oleh masyarakat. Namun semua itu belum cukup karena masih begitu banyak kebudayaan daerah yang masih tenggelam dan masyarakat Indonesia masih bersikap apatis terhadap warisan nenek moyang.
Kita juga tidak dapat terus menerus menyalahkan pemerintah karena kita sebagai masyarakat Indoensia juga memiliki tanggung jawab yang besar dalam pengembangan kebudayaan.

III. Kesimpulan
Kini, kebudayaan Indonesia hanyalah sebagai kebudayaan tradisional yang dimasukkan ke musium. Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah dan masyarakat Indonesia sendiri yang tidak memperdulikannya. Namun bukan sesuatu yang terlambat jika kita, masyarakat Indonesia, mulai menyadarkan pemerintah dan masyarakat lain akan pentingnya mengembangkan kebudayaan sebagai warisan nenek moyang yang sangat berharga untuk kemajuan bangsa.

IV. Daftar Pustaka
Shelly Errington, "Unraveling Narratives" in Fragile Traditions: Indonesian Art in Jeopardy;
James Cli fford, "On Collecting Art and Culture" in The Predicament of Culture: Twentieth-Century Ethnography, Literature, and Art (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1988), 215-252;
Hatley, "Cultural Expression," 216-262. P. Taylor (Honolulu: University of Hawaii Press, 1994);
www.semipalar.net
http://staff.undip.ac.id/sastra/agusmaladi/2009/07/21/pengembangan-kesenian-daerah-dan-globalisasi-%DB%9E-sebuah-konsep-menuju-ketahanan-budaya/