Cari Blog Ini

Laman

Total Tayangan Halaman

Kamis, 09 Agustus 2012

DIAM: PATUH ATAU BODOH


Pagi itu langit begitu cerah. Sang surya menyapaku dengan senyuman khasnya. Hari itu adalah hari yang sangat spesial bagiku. Bagaimana tidak, hari itu aku akan menikah dengan anak seorang pengusaha kelapa sawit. Meskipun kami dijodohkan, bagiku siapapun lelaki pilihan ayah dan ibu dialah yang terbaik untukku.
Aku lahir di sebuah desa yang bernama Kumpang, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Ayahku adalah seorang Kepala Suku Dayak. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluargaku. Ayah begitu tegas memimpin keluarga dan Suku Dayak. Seluruh peraturan adat istiadat beliau terapkan dengan tegas. Tidak ada kata toleransi baginya.
Sebelum acara pengucapan ijab kabul dilaksanakan, keluargaku dan keluarga suamiku melaksanakan serangkaian upacara perkawinan adat suku dayak yaitu Melian, meskipun calon suamiku berketurunan Batak. Selama proses Macang, calon suamiku begitu diam. Tidak ada sediitpun komentar mengenai pernikahan kami, begitu pula dengan aku. Semua telah di persiapkan oleh kedua orang tua kami.
Resepsi pernikahan kami sangatlah meriah. Seluruh penduduk desa datang ke rumahku, tempat diadakannya acara pernikahan. Seluruh ruangan dipenuhi dengan bunga yang berwarna-warni bak taman di surga. Tirai putih yang menutupi seluruh dinding ruangan melambangkan dua insan manusia yang diikatkan dengan tali suci untuk menjalani hidup baru. Dentuman musikpun begitu kencang bersuara guna menambah kemeriahan pesta pernikahan kami.
Matahari yang sejak tadi pagi bersinar cerah bukanlah pertanda baik untukku, melainkan pertanda bahwa akan ada badai besar setelah hari itu. Kebahagiaan pernikahanku berakhir sampai dentuman musik tak lagi terdengar dan seluruh tamu undangan pulang ke rumah mereka masing-masing. Malam pertama kami, suamiku tidur membelakangiku. Tak ada sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya, bahkan hanya sekedar senyuman basa-basi. Sejak pesta usai wajahnya dingin, datar, tanpa ekspresi. Ingin sekali bibir ini berucap memecahkan kesunyian, tapi apa daya aku hanya bisa diam seperti yang biasa aku lakukan. Kini yang tersisa dari pesta pernikahanku hanyalah bait pertama dari lagu bang toyib, yang diputar sebanyak tujuh kali dalam pesta pernikahn kami. Syair tersebut terus terngiang di benakku hingga aku terlelap dalam kesepian.
Dua hari setelah pesta pernikahan kami, kami tinggal di tengah-tengah kota Pontianak. Kami menempati rumah yang besarnya dua kali lipat dari pada rumahku. Aku dibuatkan sebuah kartu kredit untuk memenuhi semua kebutuhanku. Kartu kredit tersebut selalu terisi setiap kali aku gunakan. Tetapi semua itu percuma. Suamiku jarang pulang dan tidak ada satupun orang yang aku kenal di sekitar tempat tinggal kami. Tapi yang pasti, dia akan pulang ketika orang tua kami datang berkunjung ke rumah kami. Dia juga akan berlaku mesra, seolah-olah tidak ada masalah diantara kami. Jika tidak ada orang di sekitar kami, maka aku bagaikan gajah di pelupuk matanya.
Aku bagaikan seorang ratu yang terperangkap dalam sangkar emas. Setiap hari aku berdandan dalam kesunyian malam. Menunggu kekasihku yang tak kunjung datang. Penantianku akan berakhir sampai jam antik yang berada di ruang tamu berbunyi sebanyak dua belas kali, kemudian akan disusul dengan suara isak tangisku.
 


            Hujan yang turun sejak pukul lima sore belum juga reda hingga tak ada lagi cahaya matahari. Wangi tanah yang terguyur air hujan masih tercium di hidungku. Sejak hatiku kosong, aku mulai terbiasa menggambar diriku dan suamiku sedang berdiri di depan rumah sederhana dan tersenyum gembira pada kaca jendela yang berembun.
            Malam itu adalah bulan ketiga sejak pernikahanku. Air mataku telah mengering dan ketegaranku telah rapuh. Tiba-tiba saja aku teringat dengan ibuku dan aku sangat merindukannya. Ibu yang selalu membelaiku dengan lembut dan bernyanyi sebelum aku tidur. Ibu pulalah yang selalu menhiburku setiap kali aku sedih.
            Dengan penuh keraguan, aku memencet nomor telepon rumah. Aku ingin mencabut sedikit paku-paku yang menancap di hatiku kepada ibu. Tidak lama aku menunggu, dari kejauhan terdengar suara lembut ibu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Ibu, ini aku Vina.”
“SubhanaAllah Vina, apa kabar? Ibu sangat kangen sama kamu.”
Ketika mulut ini mulai terbuka, tiba-tiba saja ayah mengembalikan kediamanku.
“Kenapa kamu telepon? Apa ada masalah yang terjadi? Inget, kamu adalah seorang istri. Kewajiban seorang istri adalah melayani suaminya dengan baik dan menuruti segala perintah suaminya.”
            Seperti biasa, ibu menenangkanku dan berusaha memberikan pengertian kepadaku bahwa perkataan ayah adalah benar. Namun, memang cara penyampaian ayah yang keras.
“Sabar ya sayang. Bapakmu hanya berusaha menasehati kamu. Ibu akui memang caranya keras, tapi ambilallah kebaikan dari setiap ucapannya.”
“Iya bu, aku mengerti.”
“Ngomong-ngmong, mana suami kamu togar?”
Aku terdiam sebentar. Rasa sakit itu muncul kembali. Ingin rasanya aku menangis, tetapi itu hanya akan membuat ibu khawatir dengan keadaanku.
“Belum pulang kerja.”
“Oh… ya sudah kalau begitu. Kamu baik-baik ya di sana. Salam buat togar. Ibu mau nyiapin baju untuk bapakmu pakai di acara khitanan salah satu warga malam ini.”
“Iya bu. Assalamu’alaikum.”

            Malam itu seperti biasa aku menunggu suamiku yang sudah empat bulan tidak pulang dan tidur jam dua belas malam. Namun, tiba-tiba saja aku terbangun karena bunyi bel rumah. Aku begitu terkejut melihat suamiku yang dibopong oleh seorang supir taksi dalam keadaan yang tidak sadarkan diri.
“Maaf bu karena sudah mengganggu. Apakah ibu mengenal dengan orang ini?” Tanya supir taksi itu kepadaku.
“Iya mas. Dia adalah suami saya. Tapi kenapa keadaannya seperti ini?”
“Suami ibu sedang mabuk. Dia menyetop taksi saya di depan sebuah klub malam, kemudian dia muntah di dalam taksi saya. Saya tahu alamat ini dari alamat di KTPnya.”
“AstagfiruAllahal’azim…. Kalau begitu, tolong bawa suami saya sampai ke kamar ya bang.”
“Baik bu.”
Dengan tertih-tatih, supir taksi tersebut membwa suamiku ke dalam kamar dan merebahkannya di atas tempat tidur. Kemudian aku membayar semua kerugian yang dialami supir taksi tersebut. Aku begitu kecewa dengan apa yang ada dihadapanku. “Ya Allah… siapa sebenarnya suamiku ini? Apakah benar dia adalah lelaki yang terbaik untukku?” Tanpa terasa, air mata menetes di pipiku.
Aku ambil air hangat dan handuk untuk membersihkan tubuh suamiku yang dipenuhi dengan bau muntahan. Perlahan-lahan aku buka pakaiannya yang terkena muntahan dan aku basuh seluruh tubuhnya dengan handuk yang dibasahi air hangat. Ketika semuanya selesai, aku bermaksud untuk menaruh baskom, handuk, dan pakaian kotor tersebut di dapur. Namun tiba-tiba saja dia menarik tanganku. Seluruh barang yang kupegang jatuh ke lantai dan tubuhku terhempas ke dalam pelukannya.
Aku pasrahkan diriku untuknya dan aku relakan keprawananku direnggut olehnya. Aku rasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan. Akupun berfikir, pantas saja tetanggaku, saiful, menikah sebanyak delapan kali dan bercerai sebanyak lima kali.
Keesokkan paginya aku terbangun oleh suara suamiku yang memanggi-manggil namaku. Ketika aku membuka mata, aku melihat wajah sumiaku yang merah dan panik.
“Ada apa bang?” Tanyaku seraya mengucek-ngucek mata yang dipenuhi kotoran.
“Apa yang telah terjadi tadi malam?”
“Maksud abang?”
“Apa yang telah terjadi tadi malam? Kenapa kau tidur disampingku dengan keadaan tanpa busana?”
“Semalam kita melakukan sesuatu yang biasa pasangan suami istri lakukan.”
“Jangan bilang kita melakukan hubungan seks?” Tanyanya dengan wajah ketakutan.
Aku menjawabnya dengan mengangguk disertai senyuman malu. Melihat jawabanku dia langsung mengusap wajahnya, seperti ada yang disesalinya.
“Apa aku mengalami ejakulasi?”
“Sepertinya iya.”
Diapun langsung mengeluarkan makian yang tidak ingin aku dengar.
“Kenapa kamu mau melakukan itu?”
“Loh, kenapa tidak? Apa salah jika seorang istri melayani suaminya dan apakah salah jika aku menginginkan hakku?”
“Salah!!! Jelas salah! Bahkan pernikahan kita adalah sebuah kesalahan besar!”
Aku bagaikan tersambar petir disiang bolong. Tidak ada lagi kata yang dapat aku ucapkan, kecuali jeritan isak tangis yang menjadi-jadi. Sedangkan suamiku pergi begitu saja setelah menghancurkan hatiku.
            Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah tidak kuat lagi menahan penderitaan ini. Apakah aku bercerai saja? Tapi seorang janda sangatlah dipandang buruk oleh masyarakat Kumpang. Seorang janda adalah seorang wanita yang tidak dapat melayani suaminya dengan baik sehingga mereka bercerai. Janda juga dicap sebagai penggoda suami orang. Lain halnya dengan duda. Kejandaanku juga akan memperburuk nama keluargaku, terutama ayah selaku ketua suku. Tidak, aku tidak boleh bercerai karena itu hanya akan membuatku diusir dari rumah dan ayah tidak akan menganggapku sebagai anaknya lagi.
 

Rencananya aku akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi tubuhnku yang tidak baik. Sudah dua hari perutku sangat mual dan hari ini sudah terhitung lima kali aku muntah. Aku akan pergi setelah hujan yang turun sejak tadi pagi reda.
Aku begitu terkejut sekaligus bahagia setelah mendengar hasil diagnose dokter. Menurutnya, aku sedang mengandung 2 bulan. Hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah memberitahu kabar gembira ini kepada Bang Togar. Aku berharap dengan adanya anak ditengah-tengah keluarga kami, sikapnya dapat berubah terhadapku.
Berkali-kali aku menghubunginya, tapi selalu dijawab oleh operator. Akhirnya, aku putuskan untuk mengabarkannya melalui pesan pendek (sms). Suamiku pulang pada hari ketujuh sejak sms itu aku kirim. Wajahnya terlihat sendu, pucat dan tubuhnya semakin kurus.
“Ada apa bang? Kenapa abang pulang dengan wajah sendu? Tersenyumlah sedikit walaupun hanya untuk anak kita.”
“Aku mohon, gugurkan kandunganmu vin.”
“Apa maksud abang? Abang boleh membenci aku dan anak kita, tapi jangan suruh aku membunuh darah dagingku sendiri.”
“Aku mohon vin. Itu adalah jalan yang terbaik untuk kita dan anak kita.”
“Abang pikir membunuh anak kita sendiri merupakan suatu jalan yang terbaik? Aku bingung. Sebenarnya hati abang itu terbuat dari apa?”
“Kamu tidak tahu apa-apa.”
“Apa yang abang sembunyikan dariku? Katakana!”
Dia terdiam sebentar, kemudian dia menarik nafas dalam-dalam. Seraya menunduk dan menggengam kencang kedua tangannya dia berkata,
“Aku mengidap HIV.”
“Apa?! Tolong jangan permainkan aku lagi bang. Sudah terlalu sakit hatiku akibat dari semua perlakuan kejammu.”
“Aku tidak sedang mempermainkanmu. Ini adalah kenyataan.”
Mendengar pengakuannya tubuhku menjadi lemas, nafasku terasa sesak, kepalaku pusing, dan pandanganku menjadi kabur. Seketika itu juga aku menangis.
“Siapa sebenarnya kamu bang? Apa kamu tahu? Pernikahan yang dapat membawa penderitaan adalah haram hukumnya!”
            Aku langsung memasuki kamar tidur. Aku begitu membencinya dan muak melihat wajahnya. Aku menangis sekuat-kuatnya dan membanting seluruh barang yang ada disekitarku. Sayup-sayup aku mendengar suara suamiku dari balik pintu.
“Maafkan aku vin. Aku bersumpah bahwa aku tidak pernah merencanakan semua ini.”
“Percuma abang minta maaf. Virus ini telah berkembang biak di dalam tubuhkan dan cepat atau lambat mereka akan membunuhku tanpa ampun! Lebih baik abang pergi dari sini! Aku muak melihat wajah abang!”
“Aku akan pergi, tapi tolong dengarkan dulu penjelasanku.”
“Buat apa? Penjelasan itu hanyalah pembelaan abang atas dosa yang telah abang perbuat.”
“Aku akui kalau aku telah sangat berdosa padamu dan anak kita. Tapi sumpah vin, aku tidah pernah merencanakan semua ini. Aku bahkan tidak ingin ada orang yang bernasib sama denganku. Oleh karena itu, selama ini aku tidak pernah menyentuhmu.”
“Lalu mengapa abang menikahiku?”
“Aku menikahimu karena dipaksa oleh kedua orang tuaku. Aku tidak punya alasan untuk menolak perjodohan itu dan aku tidak berani memberitahu keluargaku bahwa aku mengidap HIV.”
“Aku sama sekali tidak percaya dengan semua ucapan abang. Kalaupun abang tidak mau, abang bisa menolak. Abang adalah lelaki.”
“Tidak semua lelaki kuat seperti yang kau bayangkan. Aku adalah lelaki lemah. Aku begitu takut dengan ayahku sendiri. Ayahku sangat memprioritaskan bisnisnya dari pada kebahagiaan keluarganya sendiri. Dia akan melakukan segala cara untuk keberhasilan bisnisnya.”
“Apa maksud abang? Apa hubungan pernikahan kita dengan bisnis orang tua abang?”
“Orang tuaku menjodohkan kita berdua karena ingin memperluas lahan perkebunan kelapa sawitnya. Hal tersebut karena peperangan Suku Dayak dengan Suku Madura yang sering terjadi akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pertama-tama ayah harus mengambil simpati dari penduduk Kumpang agar mereka mau menerima masukknya lahan perkebunan kelapa sawait ayahku ke wilayah mereka.
Ayahku melakukan perjanjian dengan ayahmu untuk mendukung semua rencananya. Perjanjian itu berisi, aku akan menikah dengan kau dan sebagian keuntungan dari perkebunan kelapa sawit tersebut akan menjadi milik ayah kau asalkan ayah kau mau menghasut warga menerima perkebunan kelapa sawit ayahku. Akhirnya ayah kau setuju dan pernikahan kitapun terlaksana.”
Semua pernyataan bang Togar membukakan mataku. Akhirnya aku tahu bahwa terdapat tiga orang yang memiliki andil dalam kehancuran hidupku, yaitu bang Togar, ayahnya bang Togar dan ayahku sendiri.
“Kejadian aku tertular virus ini hampir sama seperti kau tertular dariku. Sejak kelas 1 SMA, aku mencintai seorang wanita. Tatapannya sendu, senyumannya manis dan wajahnya cantik bagaikan bidadari. Aku rasa dia tahu bahwa aku sering memperhatikannya. Aku tidak berani memberi tahu mengenai perasaanku kepadanya karena aku bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan pacar-pacarnya yang selalu berganti setiap minggu.
            Tanpaku duga, dia mengundangku ke pesta perpisahan yang diadakan di rumahnya. Aku datang dengan penampilan yang sangat berbeda. Semua orangpun menatapku. Di pesta itu aku disodori minuman beralkohol olehnya hingga aku tak sadarkan diri. Keesokkan paginya aku tersadar dan melihat gadis yang aku cintai tidur disampingku tanpa sehelaipun busana. Aku begitu takut dan terkejut dengan dosa yang telah aku perbuat, tetapi dia biasa saja seolah-olah itu adalah sesuatu yang biasa dia lakukan.
            Setelah delapan  tahun tidak bertemu, kami dipertemukan lagi di sebuah rumah sakit. Pada waktu itu aku ingin memeriksa diareku yang sudah tiga hari tidak kunjung sembuh. Tubuhnya sangat kurus, seperti tidak ada lagi daging yang mau menyelimuti tulangnya. Wajahnya juga sangat pucat dan suaranya begitu lemah. Saat itulah aku tahu bahwa dia menderita HIV AIDS.
            Aku tidak ada sedikitpun keberanian untuk memeriksakan diriku ke dokter. Pada saat kondisi tubuhku semakin memburuk, akhirnya aku kumpulkan seluruh keberanianku untuk periksa dan hasilnya benar seperti dugaanku. Aku mengidap HIV. Hari itu adalah hari dimana aku mabuk dan menidurimu.
            Jujur, aku mencintai kau. Kau adalah bidadari sesungguhnya yang aku inginkan. Senyuman kau dapat menenangkanku dan mengembalikan ketegaranku. Tetapi mungkin, jodoh kita hanya sampai disini. Aku akan pergi. Maafkan aku atas segala penderitaan yang telah aku berikan kepada kau.”
            Kata-kata terakhirnya begitu menyentuh hatiku, tetapi di sisi lain aku sangat membencinya. Nasi telah menjadi bubur. Keadaan tidak akan berubah jika aku berpisah dengannya.
            Aku berusaha untuk menenangkan diri dan berfikir sejenak untuk mengambil sebuah keputusan. Aku buka pintu dengan penuh keraguan dan aku pandangi punggungnya yang semakin menjauh. Kemuadian aku berkata,
“Apa benar abang mencintaiku?”
“Benar vin. Aku sangat mencintai kau.”
“Jika abang benar mencintaiku, tetaplah di sini. Tinggallah bersamaku.”
“Apa kau telah memafkan aku?”
“Selamanya aku tidak akan pernah memafkan abang. Tapi nasi telah menjadi bubur. Keadaan tidak akan berubah jika kita berpisah. Lebih baik aku membuat bubur itu menjadi bubur spesial.”
“Terima kasih vin. Jujur, aku tidak akan kuat menjalani sisa hidupku sendiri. Terima kasih karena kamu telah mau menemaniku disisa umurku yang tidak akan lama ini.” Sahutnya seraya memelukku dengan begitu erat.
            Kami menjalani hidup baru dengan kebahgiaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Kini aku tidak perlu lagi menggambar diriku dan suamiku di kaca jendela yang berembun karena suamiku selalu ada disampingku. Kami menyusun rencana kehidupan kami. Mulai dari rencana untuk hari esok, hingga rencana untuk hari yang tidak pasti akan datang.
            Rencana yang pertama kami lakukan adalah pindah ke Jakarta. Kebanyakan orang yang tinggal di Jakarta bersifat individualis dan mereka telah sering mendengar kata HIV AIDS, sehingga akan lebih sedikit orang yang akan mencemooh kami. Lagi pula dokter yang bersedia untuk membantuku melakukan aborsi lebih mudah ditemukan di Jakarta. Setelah aku menggugurkan kandunganku, aku akan mendaftarkan diri untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi yaitu universitas. Hal tersebut diperintahkan oleh suamiku agar aku dapat hidup mandiri setelah kepergiannya.
 

            Fonis yang dijatuhkan dokter kepada suamiku akhirnya terjadi.  Dua tahun setelah kepindahan kami ke Jakarta, dia meninggal dunia di sebuah rumah sakit. Hanya aku dan keluarganya yang tahu penyebab kematiannya. Aku dapat melihat rasa beralah dari kedua orang tuanya setiap kali mereka menatapku.
            Seluruh tabungan suamiku diberikan sepenuhnya kepadaku. Tabungan itu cukup untuk membiayai kuliahku dan kebutuhanku sehari-hari. Meskipun suamiku telah meninggal, anehnya jumlah uang yang ada di dalam kartu kreditku tidak pernah habis meskipun telah aku gunakan.
            Setelah kuliahku selesai, aku kembali ke Pontianak. Itupun karena permohonan ibuku. Rencananya aku akan menetap cukup lama di sana untuk meluapkan seluruh kerinduanku kepada keluargaku. Kemudian aku akan kembali ke Jakarta untuk meniti karir dan menjalani hidup sendiri. Aku tidak ingin keluargaku tahu bahwa aku mengidap penyakit HIV. Jika mereka tahu, maka akan timbul masalah baru.
            Sesampainya di Kumpang, aku disambut dengan pakaian-pakaian hitam yang dikenakan oleh seluruh warga desa. Hal itu merupakan wujud dari rasa simpati mereka terhadap kematian suamiku. Satu-persatu dari merekapun bertanya mengenai penyebab kematian suamiku, tetapi pertanyaan itu tidak pernah aku jawab.
            Sudah dua hari aku tinggal di kampung. Semua berjalan biasa-biasa saja sampai malam itu datang. Ayah memecahkan kesenyuian malam yang sedang aku dan ibu nikmati di belakang rumah.
“Mengapa kamu tidak pernah menjawab pertanyaan setiap orang mengenai penyebab kematian suamimu? Apa kamu takut jika aibmu terbongkar?” Tanyanya sinis.
“Apa maksud ayah?”
“Bukankah suamimu meninggal karena kamu tidak dapat melayani suamimu dengan baik sehingga penyakit mengakhiri hidupnya?”
“Sampai kapan ayah akan terus menyalahkanku? Apakah di mata ayah aku ini selalu salah?”
“Tidak akan ada asap jika tidak ada apinya.”
“Apa ayah benar-benar ingin tahu sebab kematian suamiku?”
“Katakanlah jika itu tidak membebanimu.”
“Baik, aku akan menceritakan semuanya. Suamiku meninggal karena dia mengidap penyakit HIV AIDS dan coba tebak, apakah aku tertular olehnya atau tidak?”
“Astagfirullah vin. Jaga ucapanmu. Virus itu adalah virus terkutuk yang sangat mematikan.” Sambung ibu.
“Apa yang salah dengan ucapanku bu? Semua yang aku ucapkan adalah benar.”
            Ayah tidak merespon sedikitpun ucapanku. Beliau pergi begitu saja dan duduk di kursi goyang kesanyangannya. Ibu juga pergi setelah mengusap air matanya. Ini adalah pertamanya aku berani menjawab ucapan ayah. Aku sangat puas dengan apa yang telah aku ucapkan karena akhirnya bangkai yang terus aku simpan di dalam hati dapat aku keluarkan. Tapi aku juga sedih karena hal itu membuat ibu sedih.
            Semalaman aku berfikir dan akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Keesokkan paginya ayah, ibu dan adik-adikku mendiamkan aku. Hal itu membuat tekadku semakin bulat untuk kembali ke Jakarta. Akupun pergi untuk memesan tiket pesawat. Sejak aku tapakkan kaki di depan pintu rumah, seluruh warga yang aku temui mengeluarkan tatapan sinis kepadaku. Belum 24 jam berita itu aku katakan kepada kedua orang tuaku, berita itu sudah tersebar ke seluruh warga kampung.
            Setelah aku membeli tiket, aku pulang ke rumah untuk membereskan semua barang-barangku. Rencananya aku akan pergi ke Jakarta dengan penerbangan pesawat pukul 13.00. Sesampainya aku di rumah, aku melihat dari kejauhan seluruh warga yang berkumpul di depan rumahku. Sedangkan ayah berada di depan segerombolan warga dan berusaha menenangkan mereka. Ada diantara mereka yang memebawa obor dan ada pula yang membawa celurit. Mereka terus berteriak, “usir vina dari kampung ini!!! Usir! Usir! Usir!”
“Kami tidak ingin kampung ini terkena bencana karena ada salah satu warga yang mengidap penyakit terkutuk!” Teriak salah satu warga.
Tiba-tiba saja dari belakangku ibu menarik tanganku dan menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Sesampainya di dalam rumah, ibu terus memintaku untuk mengklarifikasi seluruh isu yang menyebabkan kemarahan warga.
“ibu mohon vin, bilang kepada seluruh warga bahwa semua itu bohong.” Sahut ibuku dengan sangat panik seraya memegang tanganku dengan erat.
“Iya kak. Hanya kakak yang bisa menenangkan kemarahan warga.” Tambah adikku yang paling tua.
Tanpa ekspresi dan tanpa kata, kulepaskan pegangan tangan ibu dan aku berjalan menuju depan rumah dengan tubuh gemetar. Aku kumpulkan seluruh keberanianku untuk menghadapi kemarahan warga. Ketika batang hidungku tampak di depan mata mereka, semua mata tertuju padaku dan seketika itu juga keadaan menjadi sunyi.
“Assalamu’alaikum…” Sapaku.
Secara frontal, seorang warga melontarkan pendapatnya kepadaku. Sepertinya dia adalah pemimpin aksi masa.
“Engga perlu basa-basi! Mendingan sekarang juga kamu pergi dari kampung ini!”
Semua orangpun ikut bersuara mendukung argumen orang tersebut.
“Apa salahku? Kenapa kalian begitu membenciku.”
“Semua karena penyakit yang kamu derita! Penyakit itu adalah penyakit terkutuk dan akan membawa bencana bagi kampung ini.”
“Aku ini hanyalah korban. Aku hanya menjalankan peranku sebagai seorang istri yang berbakti kepada suaminya. Kalian tidak perlu khawatir karena virus ini tidak akan menular kepada kalian hanya dengan aku tinggal di desa ini.”
Semua warga terdiam sejenak. Namun ada saja yang bersuara keras tetapi kosong otaknya.
“Tetap saja penyakit itu akan mendatangkan bencana bagi kampung ini. Para leluhur akan marah karena kita membiarkan penyakit terkutuk itu berada di kampung kita.”
“Baik, aku akan pergi. Tapi aku mohon, jangan salahkan keluargaku atas masalah ini karena mereka tidak ada hubungannya dengan penyakit yang aku derita.”
            Semua wargapun kembali ke rumah kami masing-masing. Ayah langsung merebahkan tubuhnya di atas kursi goyang kesayangannya seraya menutup matanya. Dia terhanyut dalam goyangan kursi tersebut. Sedangkan aku sibuk memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Ibu terus menangisi masalah yang sedang kami hadapi.
            Sebelum aku meninggalkan rumah dan seluruh keluargaku, aku menyampaikan satu pesan kepada ayah.
“Satu hal yang ayah lupakan dari adat istiadat kita, yaitu segala hal yang berkaitan dengan hajat orang banyak diselesaikan dengan cara musyawarah. Semoga setelah aku, tidak ada lagi orang yang menderita.”
“Apa maksudmu vin? Apa kamu menyalahkan ayahmu atas semua masalah ini?” Tanya ibu.
“Sudahlah bu, ibu tidak perlu lagi menutupi kesalahan ayah. Aku sudah tahu semuanya.”
“Tidak ada yang kami sembunyikan dari kamu.” Tegas ibu.
“Termasuk alasan ayah menikahkanku dengan bang Togar? Aku tahu bahwa ayah menikahkanku dengan bang Togar karena keuntungan yang dijanjikan oleh ayahnya bang Togar bukan? Ayah akan mendapatkan sebagian keuntungan dari lahan perkebunan kelapa sawit yang masuk ke kampung kita.”
“Tidak vin, semua itu tidak benar. Kami menjodohkan kalian berdua karena kami ingin kamu dapat hidup bahagia. Togar dan keluarganya adalah orang kaya dengan begitu semua kebutuhan kamu akan tercukupi. Masalah keuntungan itu bukanlah tujuan utama kami, bahkan keuntungan itu tidak pernah diberikan kepada kami.” Bela ibu.
Akhirnya ayahpun angkat bicara. Dari balik kursi goyangnya, beliau membenarkan semua tuduhanku atasnya.
“Semua yang kamu katakan benar. Cepatlah kamu pergi sekarang juga, sebelum warga kampung membakar rumah ini.”


SEKIAN

Tidak ada komentar: