Cari Blog Ini

Laman

Total Tayangan Halaman

Kamis, 09 Agustus 2012

NASIB

NASIB

CERPEN PENUH HIKMAH

Banyak orang yang berkata bahwa setiap bayi terlahir dalam keadaan suci, tanpa dosa. Banyak juga orang yang berkata bahwa bayi yang dilahirkan atas hubungan tanpa pernikahan adalah bayi haram. Banyak orang yang sangat menginginkan bayi hingga melakukan segala cara dan dengan biaya yang terbilang besar. Banyak pula  orang yang membuang bayinya, bahkan tega membunuh bayinya sendiri.

Setiap orang akan menjawab sama jika ditanya, “jika anda dapat memilih, anda ingin dilahirkan oleh keluarga seperti apa?” dan jawabnya adalah keluarga yang sempurna. Namun, dapatkah kita memilih?.

Setiap detiknya terdapat 20 bayi yang terlahir di dunia ini dan setiap reaksi orang tua pun berbeda, ada yang menginginkan kelahiran bayinya dan ada yang tidak menginginkan kelahiran bayinya, ada yang merencanakan keahiran bayinya bahkan dengan mengusahakan berbagai cara dan ada pula yang tidak merencanakannya. Namun penyebab kelahiran bayi hanya satu, yaitu bertemunya sel sperma dengan sel telur kemudian berkembang menjadi zigot hingga menjadi manusia seutuhnya.

Jika aku dapat memilih, aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan. Seandainya kedua orang tua ku tidak menginginkan kelahiranku sehingga kedua orang tuaku akan membunuhku, atau aku meninggal dalam kandungan karena penyakit yang diderita ibuku, atau ibuku selingkuh dengan pria lain sehingga sel sperma yang membuahi sel telur ibu ku bukanlah ayah ku. Namun sayangnya, aku tidak dapat memilih.

Aku dilahirkan disebuah kampung yang cukup terpencil, namun keluargaku adalah keluarga yang serba berkecukupan. Ayahku berasal dari keluarga yang cukup termahsyur di kampung ku. Keluarga ayahku memiliki baratus-ratus hektar tanah pertanian dan perkembunan.  Banyak orang yang bilang bahwa ibuku adalah kembang desa, yaitu wanita yang tercantik di kampungku. Jika dilihat dari segi ekonomi, keluarga ibuku termasuk keluarga sederhana. Kedua orang tua ibuku hanya memiliki sepetak tanah yang dijadikan lahan pertanian pada saat musim hujan dan dijadikan lahan perkebunan pada saat musim panas. Kakek dan nenekku juga memiliki dua ekor sapi yang diperah susunya untuk ditukarkan dengan uang ke pengumpul susu. Semua harta kekayaan itu, merupakan harta warisan yang diturunkan secara turun temurun.

Bibiku, Ajeng Kusumadewi, sering bercerita akan kisah keluarga ku sebelum aku dilahirkan. Dulu, banyak orang yang merasa iri dengan pernikahan ayah dan ibuku. Namun rasa iri itu berubah menjadi rasa kasihan ketika kakek dari kelurga ayahku menderita penyakit diabetes dan darah tinggi, musibah ini terjadi sebulan setelah pernikahan ayah dan ibuku.  Seluruh kekayaan mereka habis dijual untuk membiayai pengobatan kakekku yang tidak kunjung sembuh hingga akhirnya kematianlah yang mengakhirinya. Dalam sekejab, kehidupan merekapun berubah drastis.

Hal ini sangat berpengaruh dengan ayah dan ibuku. Bagaimana tidak, ayahku hanyalah lulusan SMA dan seluruh kehidupannya bergantung pada kekayaan kedua orang tuanya. Menurutnya pendidikan hanyalah penguat status sosial di masyarakat. Selain itu, segala sesuatu yang diinginkannya dapat tercapai tanpa harus mengenyam pendidikan yang tinggi, maklumlah, karena ayah adalah anak terakhir. Akhirnya, ayah hanya bekerja sebagai petani yang membajak sawah orang kaya dari kota, sedangkan ibu bekerja sebagai kuli cuci yang hanya di upahi Rp. 10.000 setiap kali cuci. Namun itu tak berarti banyak untuk memenuhi kehidupan mereka berdua karena hanya sedikit orang kaya di kampung kami dan hanya pada saat-saat tertentu saja mereka menggunakan jasa tukang cuci.

Kehidupan ayah dan ibu semakin menderita pada saat musim kemarau yang begitu lama tak juga berganti dengan musim hujan. Saluran irigasi, saluran air yang menghubungkan air sungai ke sawah yang di bajak ayah ku, kering, begitu pula dengan seluruh lahan pertanian di kampung ku. Tak ada lagi lahan yang dapat di bajak, akibatnya, banyak petani yang kehilangan mata pencahariannya.

Untungnya penderitaan itu tak lama berlangsung. Ayah ku di tawarkan untuk bekerja di kota olah juragan yang sawahnya di bajak ayah. Namun, tidak jelas apa yang akan ayah kerjakan disana. Juragan tersebut hanya berkata jika ayah ku ingin merubah nasibnya, maka datanglah ke Kota. Di kota juragan ayah ku akan memberikannya pekerjaan yang gajinya dapat melebihi upah seorang petani. Ayah kupun tergiur dengan apa yang di janjikan juragannya dan dia pun pergi ke kota tanpa peduli pekerjaan apa yang akan di lakukannya nanti. Sebelum ayah berangkat ke kota, ibu ku telah mengandung 3 bulan. Namun kehamilan ibu ku itu tidak di ketahui oleh mereka berdua. Akhirnya, ibu kupun tau bahwa dia sedang mengandung pada saat kehamilannya berumur 7 bulan. Awalnya, ibu tidak curiga sama sekali bahwa dia sedang mengandung meskipun perutnya telah sedikit membesar. Namun, beliau hanya menganggapnya sebagai tanda bahwa tubuhnya bertambah gemuk, meskipun beliau hanya makan dua kali sehari. Sampai kehamilannya berumur tujuh bulan, barulah beliau berfikir bahwa besar perutnya itu sudah tidak wajar lagi.

Selama ayah pergi, ibu menumpang hidup bersama kedua orang tuanya. Hal ini karena, rumah warisan yang dulu ditempati mereka berdua telah di jual oleh ayah untuk modal ayah ke kota dan tidak ada sedikitpun uang yang ditinggali ayah untuk ibu. Meskipun menumpang hidup dengan kakek dan nenek, tetapi ibu selalu membantu nenek untuk memenuhi hidup mereka bertiga. Ibu ku sadar betul bahwa hidupnya saat itu bukanlah tanggung jawab kedua orang tuanya lagi. namun, tidak ada yang beliau lakukan. Beliau hanyalah lulusan SMP. Ijasah SMP di kampung kami tidak lah berarti apa-apa.

Satu bulan, dua bulan, hingga tujuh bulan ayah tidak memberikan kabar sedikitpun kepada keluarganya di kampung.  Ibu ku pun begitu cemas bukan kepalang. Tak ada alamat maupun nomor telepon yang dapat di hubungi. Selametanpun di lakukan untuk mendo’akan keselamatan ayah yang di adakan bersamaan dengan tujuh bulanan.

Satu tahunpun telah berlalu semenjak kepergian ayah ke kota. Selama itu, ibu hanya bisa pasrah dan berdo’a untuk keselamatan ayah, agar ayah dapat kembali ke kampung dengan keadaan sehat walafiat. Banyak penduduk kampung yang menyebarkan kabar-kabar buruk mengenai ayah, ada yang bilang ayah menjadi pengemis, ada yang bilang ayah telah menikah lagi dan memiliki keluarga lain di kota, bahkan ada yang bilang bahwa ayah telah meninggal. Namun, semua gossip tersebut tak sedikitpun di pikirkan oleh ibu. Banyak pula lelaki di kampung kami, mulai dari yang duda tidak memiliki anak hingga duda yang telah memiliki cucu, mendatangi ibu untuk melamar ibu. Namun, tak satupun dari mereka yang ibu terima. Ibu begitu setia dengan ayah.

Akhirnya, penantian ibupun berakhir. Pada saat kakak ku telah berumur satu tahun dua bulan, ayah mengirim surat serta uang tunai sebanyak Rp, 10.000.000. Seumur hidup ibu, hari itu merupakan hari yang paling bahagia. Bagaimana tidak, suami yang telah dinati-nantikannya selama setahun lebih, akhirnya memberikan kabar  bahagia. Pagi itu, hari begitu cerah. Seperti biasa kakek pergi ke sawah, sedangkan nenek, ibu dan kekek ku yang di gendong oleh ibu, pergi ke kebun untuk mencari kayu bakar. Surat di antar oleh pak pos. namun, pada saat tukang pos datang, tidak ada satupun orang di rumah. Akhirnya, surat tersebut di titipkan kepada tetangga ibu ku. Di depan surat tersebut tertulis nama dan alamat ayahku yang merupakan pengirim surat tersebut. Dalam waktu sekejap, seluruh warga kampungpun geger dengan datangnya surat itu. Bagaimana tidak, isu yang selama ini menyebar mengenai ayah ku akan terjawab kebenarannya melalui surat tersebut.

Sesampainya di rumah, ibu begitu terkejut. Hampir seluruh penduduk di kampung kami berkumpul di depan rumah nenek ku. Mayoritas dari mereka adalah ibu-ibu. Ibu dan nenek hanya dapat tertegun melihat kerumunan itu. Tiba-tiba saja, tetangga ibu yang menerima surat tersebut datang menghampiri ibu. Dia memberikan surat yang diterimanya dari tukang pos. Ibu begitu terkejut saat mendengar bahwa surat tersebut adalah surat dari ayah ku. Kayu-kayu yang di pegangnya, jatuh tanpa dia sadari. Ibu pun langsung membaca tulisan yang tertera di amplop, kmudian barulah dia benar-benar yakin bahwa surat tersebut berasal dari suaminya. Kemudian, ibu masuk ke dalam rumah dengan di ikuti oleh warga yang dari tadi telah menunggu ke datangan ibu.

Dengan perlahan-lahan, ibu membuka amplop tersebut. Dikelauarkannya seluruh isi amplop tersebut satu persatu. Semua orang yang menyaksikannya begitu kaget pada saat ibu mengeluarkan 100 lembar uang 100.000. Namun, ibu tak peduli sedikitpun dengan uang-uang tersebut. Seluruh pikirannya berfokus pada isi surat yang dikirim ayah ku. Secara perlahan-lahan ibu membaca surat tersebut. ibu sangat menghayati surat tersebut hingga beliau menangis karena begitu behagia. Terdapat seorang warga yang meminta untuk dibacakan isi surat tersebut. Alasannya adalah karena dia juga rindu dan ingin tahu mengenai keadaan ayah ku. Akhirnya semua orang yang ada disanapun, ikut mendesak ibu untuk membacakan surat tersebut. Ibu ku begitu baik, tak sedikitpun firasat buruk yang akan terjadi apabila dia membacakan isi surat itu.

Surat tersebut menceritakan keadaan ayah di kota. Di dalam surat itu tertulis bahwa keadaan ayah sehat walafiat. Ayah telah bekerja di sebuah toko milik juragannya. Uang yang ayah kirimkan bersamaan surat tersebut merupakan seluruh tabungan ayah selama satu tahun. Ayah berjanji akan pulang ke kampung pada saat lebaran tahun yang sama dengan datangnya surat tersebut. setelah membaca surat, ibu terus memluk dan menciumi surat tersebut serta terus bersyukur kepada Allah SWT, karena semua do’a-do’anya terkabul. Sedangkan, warga yang dari tadi mengeremuni ibu, secara serempak pulang ke rumah mereka masing-masing.

Semenjak datangnya surat itu, ibu dan ayah saling surat menyurat setiap bulannya. Setiap goresan tinta di dalam surat yang dikirmnya mewakili rasa rindu, cinta, dan sayangnya yang begitu besar kepada ayah dan setiap surat yang diterimanya dari ayah, menyembuhkan seluruh rasa rindunya kepada ayah. Surat-surat yang dikirim ayah di sertakan pula dengan uang untuk memenuhi kehidupan ibu dan kakak. Namun, penderitaan ibu belum juga berakhir. Gosip-gosip yang barupun mulai membuat panas kuping ibu. Banyak orang yang meragukan atau menyangkal akan kebenaran surat tersebut, bahkan warga yang menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri pada saat ibu membacakan isi surat tersebut. Ibu hanya bisa sabar dan terus percaya pada isi surat yang di tulis oleh ayah ku hingga lebaran tiba dan ayah ku pulang.

Lebaranpun tiba. Lebaran tahun itu, merupakan lebaran yang sangat special karena setelah sekian lama pergi, ayah ku akan pulang. Semuanyapun dibuat oleh ibu dengan special. Akhirnya, janji itupun ditepati dan orang yang dinanti-nati itupun datang. Semenjak itu, tidak ada yagi gosip-gosip yang membuat resah ibu dan senjak itu setiap lebaran ayah dan ibu berkumpul bersama untuk meluapkan rasa rindu mereka.

Kawan, apa yang kalian pikirkan jika aku mengidap HIV? Kalian pasti menduga bahwa aku terkena HIV karena aku menggunkan narkoba atau aku melakukan seks bebas. Itulah pemikiran semua orang yang aku tanya pada saat aku mengatakan bahwa aku mengidap HIV. Aku terkena HIV karena ibu ku sangat setia dengan ayah ku. Aku terkena HIV karena ayahku begitu sayang dengan keluarganya sehingga beliau mau melakukan segala cara untuk menyalamatkan keluarganya dari jurang kemiskinan. Ini adalah cobaan terbesar yang Allah berikan kepada ku. Namun kawan, kalian tak perlu khawatir dengan keadaan ku karena aku bahagia. Allah telah memberikanku sebuah keluarga dan sahabat yang begitu menyayangi ku. Mereka tidak pernah melihatku dari virus yang terus berkembang di dalam tubuhku, namun yang mereka lihat adalah kepribadianku. Aku selalu bersyukur dengan semua yang telah Allah SWT berikan kepada ku, bahkan penyakit ini. Semua ini hanyalah cobaan yang di berikan oleh Allah kepada ku untuk mengukur berapa besar keimananku dan ketaqwaanku kepada-Nya dan bagi ku kebahigiaan ataupun penderitaan tergantung dari bagaimana manusia menyikapi setiap apa yang datang kepadanya.

Ayahku telah bebohong. Ayahku tidak bekerja di sebuah toko milik juragannya. Saat beliau sampai di kota, seluruh barang-barang yang dia simpan di dalam tas hilang di curi orang di terminal dengan cara hipnotis, begitu pula dengan nomer telepon dan alamat juragannya. Akhirnya dia menjadi pengemis di kota. Pendapatan ayah sebagai pengemis sangatlah sedikit, hanya mampu membeli makan tiga kali sehari. Hal ini karena, ayah tidak memiliki tampang orang miskin yang sangat menderita. Sampai suatu hari, saat beliau sedang mengemis di stasiun kereta, beliau di datangi oleh seorang pria muda dengan pakaian modis dan rapih. Pria tersebut menawarkan ayah pekerjaan yang bisa mendatangkan banyak uang hanya dalam waktu semalam. Seperti biasa, ayah tidak pikir panjang dalam mengambil keputusan. Akhirnya, beliau setuju.

Ayah dibelikan pakaian mahal dan di ajak ke salon untuk melakukan perawatan seluruh tubuh. Saat pukul tujuh malam, ayah diajak pergi ke sebuah bar di kota. Ayah sempat bingung dan bertanya-tanya kepada pria tersebut. Namun, pria tersebut tak menjawab satupun pertanyaan ayah. Dia hanya menyuruh ayah untuk duduk yang tenang, dan minum minuman yang telah di pesankannya. Setelah dua orang tante-tante dengan dandanan yang menor datang menghampiri mereka, barulah ayah tahu bahwa pekerjaan yang di tawarkan pria tersebut adalah seorang gigolo.

Ayah sempat menolak , namun lidah pria tersebut sangatlah tajam sehingga ayah termakan dengan rayuannya. Yang ayah pikirkan hanyalah kebahagiaan istrinya yang sedang menunggunya tanpa keadaan yang jelas di kampung tanpa memikirkan dosa-dosa yang akan ia dapat di akhir nanti. Setiap ayah melakukan pekerjaannya, yang tampak di matanya hanyalah wajah ibu. Akhirnya, Allah SWT mengirimkan balasannya di dunia.

Semua itu di ketahui ibu dan keluarga besar pada saat tubuh ayah begitu kurus dan tubuhnya begitu lemah sehingga beliau hanya dapat berbaring di tempat tidur. Ayah menceritakan semua kebenaran itu kepada ibu pada saat beliau yakin bahwa umurnya tidak akan lama lagi, pada saat aku masih berupa janin. Hingga pada akhirnya beliau meninggal dunia pada saat aku berumur dua bulan.

Saat seluruh keluarga tahu bahwa virus tersebut akan menular ke janin, terjadi perdebatan di dalam keluarga besar ku mengenai nasib ku. Hampir semua sodara-sodara ibu meminta ibu untuk menggugurkan kandungannya karena kelahiranku ke dunia ini hanya akan membuatku menderita dan akan menimbulkan masalah baru bagi mereka. Namun, berbeda dengan bibi ajeng. Bibi ajeng meminta ibu untuk tidak menggugurkan kandungannya  karena hal tersebut adalah perbuatan dosa besar. Akhirnya, ibu melakukan permintaan bibi ajeng karena permintaan tersebut sejalan dengan isi hatinya.

Bibi ajeng sangat berbeda dengan seluruh sodara-sodaranya. Bibi tinggal di sebuah kampung yang berbeda dengan kampung kakek dan nenek. Beliau tinggal bersama suaminya. Beliau sangat religious. Seluruh auratnyapun sangat tertutup. Dari dan berkat beliaulah aku mengenal islam secara mendalam.

Akhirnya, hari itu tiba. Seperti yang telah di duga, ibu meninggal dalam keadaan sama seperti ayah. Ibu meninggal saat umurku empat tahun. Ibu meninggal dengan air mata yang masih membekas di wajahnya. Sebelum ibu meninggal, ibu berkali-kali berpesan kepada ku untuk selalu bersyukur atas semua yang telah diberikan oleh Allah kepada ku. Setelah ibuku meninggal, tak ada satupun yang benar-benar mau menerima ku, bahkan kakak ku sendiri. Semua orang selalu melirik sinis kepada ku dan berusaha menjauh dari ku sesegera mungkin.

Sebelum meninggal, ibu telah menulis surat warisan. Seluruh kekayaan kedua orang tua ku, berupa tanah pertanian dan perkebunan seluas 1,5 hektar serta hewan ternak, sapi sebanyak 5 ekor dan kambing sebanyak 20 ekor, akan diberikan kepada siapa saja yang mengasuh aku. Akhirnya kakak ku beserta suaminya lah yang mengasuh ku. Kakak tidak benar-benar menyayangi ku. Kakak dan suaminya hanya menginginkan warisan ayahku. Oleh karena itu, meskipun tinggal dengan keluarga sendiri, aku tidak bahagia karena kakak meperlakukanku sangat buruk. Aku bagaikan anak yang memiliki penyakit menular yang sangat berbahaya sehingga aku begtitu diasingkan meskipun kami tinggal dalam satu atap. Tak sedikitpun mereka mau menyuntuhku, bahkan berdekatan dengan ku, sehingga semuanya ku lakukan sendiri, seperti mencuci baju, makan, bahkan berbicarapun aku hanya dapat berbicara pada diriku sendiri.

Sampai pada akhirnya, aku tak kuat lagi. Aku kabur entah kemana. Waktu itu, aku baru berumur tujuh tahun dan aku tak mengerti apa-apa. Saat itu aku hanya berfikir bahwa semua orang membenciku. Berhari-hari aku tinggal di jalanan. Makan dan minumku, ku dapat dari hasil mengemis. Aku lebih bahagia hidup di jalan dari pada tinggal bersama kakak ku karena aku mendapatkan banyak teman yang memiliki profesi sama dengan ku. Namun, hal itu tidak bertahan lama karena pada kahirnya bibi ajeng menemukan ku pada saat aku mengamen di lampu merah. Semenjak itu, aku tinggal bersama bibi ajeng dan suaminya serta anaknya yang berumur lebih besar 4 tahun dari pada ku di rumah mereka yang indah.

Apakah kalian bertanya-tanya mengenai kondisi ku saat ini? Alhamdulillah, Allah masih memberikan nafas kepada ku. Aku masih hidup sampai sekarang. Untuk memperpanjang umurku hingga waktunya tiba, aku harus meminum obat tiga kali sehari dan melakukan terapi setiap minggunya. Aku pernah merasa bahwa pengobatan ku selama ini adalah percuma karena suatu saat nanti aku pasti akan meninggal, namun perkataan bibi ajeng menyadarkan ku bahwa setiap orang juga pasti akan meninggal dan tidak ada yang sia-sia di dunia ini karena manusia diciptakan oleh Allh SWT untuk bertaqwa kepadanya dan semua yang kita lakukan di dunia ini akan di hisab oleh Allah SWT di akhirat nanti.
SEKIAN

Tidak ada komentar: